Lembar ke 76 - Desa Bayangan Hijau

240 34 13
                                    

Kali ini kita akan fokus pada perjalanan Wisnu dan Prana.
Semoga Wisnu lekas sembuh
***

Sudah 5 bulan kedua lelaki itu berkelana, yang satu berusia hampir  dua puluh lima tahun, sedangkan yang satu masih bocah remaja. Selama berkelana, disela-sela waktu senggang Wisnu sempatkan diri mengajari Prana jurus-jurus silat miliknya. Raga Wisnu juga mulai semakin berubah, gejala-gejala sosok ularnya mulai muncul, di tulang ekornya, buntut ular telah tumbuh hampir sepanjang tiga jengkal.

"Guru, setelah berbulan-bulan kita berkelana, murid merasa ada hal yang aneh" ucap Prana disela jalan kaki mereka. Hari sepertinya menjelang siang, namun panas dan teriknya minta ampun.

"Anehnya?" Tanya Wisnu yang merasa biasa saja.

"Selama berkelana, aku baru sadar, tak ada setetes air pun yang turun dari langit, tak pernah hujan. Aku pernah mencari kedai di sebuah desa buat membeli nasi ternyata sawah-sawah telah kering kerontang"

Wisnu seketika terkesiap, ya dia baru sadar sekarang. Mungkinkah kutuknya benar-benar menjadi kenyataan. Wisnu memang sebisa mungkin menghindari perkampungan sepanjang perjalanan, karena khawatir membuat penduduk ketakutan.

"Ah aku menyesal telah menjatuhkan kutuk sejahat itu, bukankah yang sengsara juga penduduk yang tak tahu apa-apa. Tapi bisakah kutukan itu dicabut?" Pikir Wisnu sambil berjalan kaki. Mereka masuk ke hutan yang agaknya mulai pula kerontang, daun-daun berguguran.

"Tolong-tolong!"

Tiba-tiba Wisnu dan Prana mendengar suara seseorang meminta tolong, lemah sekali.

Keduanya lekas mencari asal suara, keduanya terkejut dapati seorang kakek kurus kering tergelatak megap-megap diatas tanah yang tandus.

"Kek, kau tak apa?" Tanya Prana.

"Hausss..hausss!" Seru si kakek. Di punggungnya ada tabung bambu panjang yang agaknya sebagai tempat air. Wisnu buka tabung itu yang ternyata kosong.

Wisnu merasakan hatinya menjadi sakit, jahat sekali kutukannya diwaktu itu, sekarang orang-orang lemah kena imbasnya pula.
Wisnu beri isyarat pada Prana buat memberikan kakek itu persediaan air mereka. Si kakek begitu lahap meneguk hingga habis.

"Ahhh segarnya, terima kasih cu, terimakasih" ucap si kakek penuh haru.

"Sejak kapan kampung ini kehabisan air kek?" Tanya Wisnu.

"Sudah empat bulan hujan tak pernah turun, sungai-sungai mulai susut, sawah banyak yang gagal panen, kelaparan dimana-mana. Kakek tadi mencari air ke mari, seingat kakek ada telaga disana. Namun ternyata kakek tak sanggup melangkah terlalu jauh" 

Wisnu termangu, dia semakin merasa bersalah.

"Jauhkah telaga itu kek?" Tanya Prana.

"Tidak, sedikit lagi, ada ditengah hutan kering ini" seru si kakek.

Prana dan Wisnu lalu memapah si kakek. Bahkan Prana menggendong si kakek di punggungnya. Sementara Wisnu memanggul dua tabung bambu panjang itu. Ketiga orang itu berjalan menuju ke tengah hutan di mana ada telaga yang dimaksud. Namun ketiganya terkejut, tatkala dapati telaga itu telah kering pula. Padahal telaga ini adalah sumber mata air dari satu sungai yang menjadi pengair  sawah.

"Duh dewa, kutuk apa lagi ini? Hilanglah harapan kampung ini akan adanya air" keluh si kakek pasrah.

Wisnu merasa miris sekaligus kasihan. Maka Wisnu jatuhkan diri di tepi telaga.
"Ini salahku" rutuknya dalam hati.

Wisnu elus-elus tanah di tepi telaga.
"Alam sahabatku, aku tahu kalian mendengar dan merasakan kehadiranku. Kalian juga turut bersedih akan keadaan nasib burukku. Tapi aku mohon kali ini, tolong hidupkan mata air ini kembali"  Wisnu berucap lalu berdoa, dia kerahkan ilmu Menyatu Indera Dengan Semesta miliknya. Tiba-tiba angin bertiup dengan keras, dan tanah bergoyang kecil.

CINTA DAN PEDANG ( DARAH CINTA TERLARANG) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang