Lembar ke 79 - Hancurnya Kutukan

233 35 6
                                    

"Apa kau siap Wisnu?" Tanya Garik yang sedang mempersiapkan upacara penyembuhan memusnahkan kutukan Dewi Ular kepada Wisnu.

"Aku siap Garik, aku sudah memikirkannya masak-masak" jawab Wisnu dengan yakin.

"Seberapa yakin?"

"Seyakin-yakinnya!" Sebut Wisnu dengan tegas.

"Kau tidak takut kehilangan seluruh ingatanmu?" Tanya Garik lagi.

"Aku tidak akan menyesalinya. Kenangan lamaku hanyalah dipenuhi penghinaan dan penghianatan yang menyakitkan. Bukankah lebih baik aku melupakannya untuk selamanya?"

Garik tersenyum melihat keyakinan Wisnu itu.

Keduanya berdiri diatas sebuah panggung kecil, hari masih pagi. Panggung itu dikelilingi oleh penduduk kampung yang ingin menyaksikan peleburan kutukan ular.

Garik beri isyarat kepada seorang pendeta untuk melakukan sesuatu.

Garik meminta Wisnu menanggalkan seluruh pakaiannya kecuali penutup aurat lelakinya hingga kulitnya yang dilapisi sisik-sisik ular terpampang nyata, beberapa penduduk perempuan menjerit ketakutan melihat sisik mengerikan itu.

Garik mengajak Wisnu duduk bersila saling berhadapan, diantara keduanya ada sebuah wadah. Wadah itu berisi air bening yang ternyata adalah air embun yang dikumpulkan.

Pendeta mulai membunyikan lonceng dan mengelilingi sosok Wisnu dan Garik sembari memanjatkan doa. Bersamaan dengan itu, penduduk yang menonton berkeliling ikut melantunkan mantera berbahasa aneh, mirip nyanyian. Dan entah mengapa mendengar nyanyian yang berirama sedih itu, hati Wisnu ikut merasakan nestapa, di kepalanya berkelebat semua kenangan nya selama ini, kenangan bersama sang ayah dan ibu, lalu kenangan bersama Gilang Kusuma, lalu dengan Pradipto, kematian tiga murid perempuannya bersama suaminya dan terakhir kenangan saat-saat dia membunuh Dewa Iblis, ayah kandungnya sendiri. Semua terasa begitu menyakitkan. Maka air mata Wisnu pun mengucur dengan teramat derasnya. Garik segera ambil wadah diantara mereka untuk menampung beberapa tetes air mata itu, air mata itu bersatu dengan air embun di dalam wadah. Dan tiba-tiba Garik menarik tangan kanan Wisnu, dengan sebuah belati kecil dia menggores telapak tangan Wisnu hingga darah mengucur. Tujuh tetes darah masuk tertampung wadah hingga air bening disana berubah kemerahan. Garik susul pula dengan lakukan hal yang sama terhadap dirinya.

"Dewa Agung, aku mencintai lelaki dihadapanku ini, izinkanlah kami bersama. Aku ingin membahagiakannya" saat memanjatkan doa itu di dalam hati, Garik turut meneteskan air mata.
Air mata itu juga jatuh ke dalam wadah, begitupun juga dengan darah, Garik mengeluarkan tujuh tetes darahnya. Bisa dikatakan darah dan air mata Wisnu dan Garik menyatu bercampur embun, setelah itu Garik letakkan sekuntum Bunga Tadah Hujan ke dalam wadah berisi air itu. Cresss, ajaib sekali, bunga itu meleleh dan melebur larut ke dalam cairan itu. Laksana gula yang diaduk di dalam air panas.

"Wisnu, obatmu telah selesai. Minumlah air di wadah itu!" Ucap Garik.

Wisnu segera meneguk air didalam wadah itu hingga ludes.

Rasanya sejuk, lidah Wisnu juga mencecap rasa manis layaknya madu. Namun beberapa detik tatkala dia menelan air itu maka meledaklah suara teriakannya. Kepalanya sakit sekali laksana dihantam godam hingga pecah. Tubuhnya mencelat dan mengapung ke udara. Untuk beberapa saat raganya mengambang berputar-putar di udara, dari tubuhnya memancar keluar sinar putih yang teduh buat di pandang. Dan sreek, sreek, srekk laksana dikikis dan dicukur, sisik-sisik di tubuh Wisnu pun jatuh bertanggalan yang luar biasanya begitu sisik itu jatuh menyentuh tanah sisik-sisik itu berubah menjadi bangkai-bangkai ular teramat banyaknya.

Sinar putih di tubuh Wisnu padam, tubuhnya pun merosot jatuh. Garik cepat melesat melompat dan menangkapnya. Tubuh keduanya melayang berputar di udara. Empat pasang mata saling bertemu. Sepasang mata berwarna kehijauan, sedangkan sepasang mata lagi kecoklatan.

CINTA DAN PEDANG ( DARAH CINTA TERLARANG) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang