18. Ibu, Jangan Menangis

296 63 31
                                    

- 𝘔𝘖𝘔 : 𝘋𝘖𝘕'𝘛 𝘓𝘌𝘈𝘝𝘌 𝘔𝘌 -

"Kakak bisa tinggal di sini jika kamu mau."

"Tidak apa-apa, aku bisa."

"Maaf."

Sowon tertunduk dalam, jemarinya meremas tepian ranjang tak bisa lagi membendung air mata. Irene duduk di sampingnya, meraih surai hitamnya untuk memastikan.

"Kamu sangat cengeng," kata Irene. "Maaf, maaf karena Kakak pergi terburu-buru hari itu, kamu pasti masih marah sampai sekarang, ya?"

"Aku merasa lelah," keluh Sowon, suaranya terdengar gemetar.

"Coba lihat ke sini." Irene meraih wajah Sowon, sehingga ia dapat melihat dengan jelas bagaimana keadaannya. "Adikku, kamu sudah dewasa sekarang, pasti sangat melelahkan."

"Kakak~"

Sowon yang akhirnya menyerah, pertahanan yang begitu kuat itu kini runtuh. Beruntunglah Irene berada di sampingnya, dan kini Sang kakak dengan tanpa ragu mendekapnya erat sekali. Tangis Sowon pecah seketika, ia membuat Sang kakak larut dalam rasa sakit yang dideritanya saat ini. Setelah fisiknya harus terluka oleh penyakit ganas itu, batinnya pun dibuat terluka oleh keadaan.

"Menangislah, Sowon."

"Menangislah sampai beban di pikiran kamu berkurang."

"Pukul Kakak juga boleh, kamu harus kuat."

"Ingat, Eunbi masih membutuhkan kamu."

Sowon menganggukan kepalanya, saat ia menarik diri dari dekapan, Irene dengan pengertian mengusap air mata yang menjejak itu. Irene menatap adiknya sendu, hanya dengan melihatnya seperti ini saja Irene sudah tahu seberapa jauh Sowon menderita. Dan dia larut ke dalam derita itu, turut merasakan bagaimana peristiwa-peristiwa mengejutkan hadir di kehidupannya.

"Kamu jarang menangis waktu kecil," kata Irene. "Tapi kamu menangis histeris saat Kakak menikah, lucu."

Sowon menyeka air matanya sambil tertawa kecil. "Terima kasih, Kak."

"Kuat selalu, Adikku." ungkap Irene sembari mengusap-usap kedua bahu Sowon. "Untuk diri kamu, untuk Suami kamu, dan untuk Putri kamu, iya?"

"Iya, Kak." Sowon menganggukan kepalanya. "Aku berjanji, aku akan selalu kuat, aku pasti bisa melewati semua cobaan ini."

"Bisa!" tegas Irene. "Pasti bisa!"

"Terima kasih, Kak~" ungkap Sowon yang kemudian memeluk kakaknya. "Aku jadi lebih baik sekarang, aku akan menghadapi semua ini, aku akan menjadi kuat untuk Eunbi-ku."

Irene mengusap punggungnya. "Kakak tahu kamu adalah perempuan yang pantang menyerah, tetaplah menjadi Ahn Sowon yang pantang menyerah."

"Ya, pasti."

Setelah mendapatkan ketenangan yang sesungguhnya, pelukan itu merenggang. Sowon mengatakan bahwa Irene tidak perlu repot-repot menginap malam ini, lagipula Eunbi sudah tidur dan tidak merewel. Irene pun pulang saat suaminya datang menjemput, katanya anak-anak sudah merewel merindukan ibu mereka.

"Anak Ibu."

Sowon naik ke ranjang Eunbi, tidur di samping Si kecil yang sudah terlelap karena menangis terlalu lama. Eunbi tipikal anak yang akan mengantuk berat setelah menangis, tapi besoknya mata dia pasti sembab.

"Kamu manis sekali, Eunbi."

Sowon mengecup keningnya gemas, lalu ia mengambil posisi memeluk Eunbi dengan perlahan, berjaga-jaga takut membangunkannya.

"Maaf, kamu harus menghadapi hal sesulit ini di masa kecil kamu." Sowon berbisik sembari memejamkan matanya. "Tapi percayalah, setelah ini kamu akan bahagia, kamu akan tertawa seperti biasanya, dan kamu akan menikmati masa kecil kamu seperti anak-anak lainnya."

Sowon makin dekat dengan Eunbi, jarak di antara keduanya benar-benar sudah tipis. Si kecil Eunbi bergerak mengubah posisi jadi menghadap ke arah Sowon, menenggelamkan kepalanya di dada Sang ibu.

"Mimpi indah, Putriku."

- 𝘔𝘖𝘔 : 𝘋𝘖𝘕'𝘛 𝘓𝘌𝘈𝘝𝘌 𝘔𝘌 -

Jadwal Sowon hari ini adalah membuatkan sarapan untuk Eunbi, mengantar Eunbi ke sekolah, pergi ke kantor polisi, dan ke rumah sakit. Padat sekali, berharap saja kondisi tubuhnya tidak menghambat aktivitas dia hari ini. Karena untuk pertama kalinya Sowon tidak hanya fokus pada satu pekerjaan saja.

Sebenarnya Sowon sudah menyarankan Eunbi untuk tidak sekolah, tapi Si kecil malah memaksa dan mengatakan akan marah jika tidak diantar ke sekolah. Mungkin dia juga terbiasa ke sekolah, meski tak punya banyak teman tapi setidaknya dia bisa bermain-main.

"Kenapa kamu mau bawa bekal roti saja?" tanya Sowon.

"Hanya ingin saja," jawab Eunbi.

"Padahal Ibu bisa memasak buat kamu, Eunbi."

Eunbi menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak, tidak perlu, Ibu."

"Baiklah."

Sowon baru duduk setelah bekal untuk Eunbi masuk ke dalam tas, dia pun menikmati roti buatannya bersama dengan Eunbi. Dia bersyukur saat Eunbi tidak larut dalam peristiwa semalam, bahkan Eunbi bersikap seolah dia tidak melihat ayahnya dibawa polisi.

"Ibu."

"Ya?"

"Jika Eunbi terus takut, itu berarti Eunbi penakut, iyakan?"

Sowon mengunyah rotinya dengan perlahan, ia menatap Eunbi dengan penuh tanda tanya, belum mengerti apa yang dimaksud oleh Si kecil.

"Sebentar lagi Eunbi tujuh tahun, kalau Eunbi terus takut, itu berarti Eunbi masih anak kecil. Tidak boleh."

"Eunbi yya, kamu—"

"Tidak." potong Eunbi sambil geleng-geleng kepala. "Eunbi bukan anak kecil lagi, sebentar lagi Eunbi akan menjadi murid sekolah dasar."

Sowon tersenyum haru. "Sepertinya kamu tumbuh dengan baik, Eunbi."

"Karena sekarang Eunbi hanya tinggal dengan Ibu, jadi Eunbi tidak boleh rewel!" katanya sambil menyengir lucu. "Bibi Nie pasti senang kalau Eunbi jadi anak yang baik, Ayah juga pasti akan bangga kalau tahu Eunbi menjaga Ibu dengan baik, iyakan?"

Sowon menggigit rotinya sampai mulutnya penuh, dia melakukan itu guna menahan suara saat rasa sesak di dada timbul begitu saja. Mendengar perkataan Eunbi benar-benar membuat hatinya tersentuh. Si kecil berhasil merangkai kata indah sehingga Sowon menangis haru.

"Ibu menangis?" tanya Eunbi.

Sowon hanya menggelengkan kepalanya, ia makin menggigit roti itu sampai mulutnya benar-benar dipenuhi oleh roti selai buatannya. Dia memaksa senyuman dengan pipi yang menggembung, tapi air matanya tak terbendung.

"Ibu, jangan menangis." Eunbi beranjak turun dari kursinya. "Apa Eunbi nakal?"

Sowon menelan roti di mulutnya dengan susah payah. "Tidak, kamu tidak nakal, Sayang."

"Tapi kenapa Ibu menangis?"

"Hei~" Sowon menangkup wajah mungil Eunbi, membelainya dengan penuh kasih sayang. "Ibu terharu, perkataan kamu membuat Ibu tersentuh, kamu tumbuh dengan baik, Sayang."

"Ibu, coba bilang kalau Ibu sayang Eunbi."

"Ibu menyayangimu, Eunbi yya."

"Ibu tidak perlu khawatir, bayangan semut main perosotan ada lagi, suara Ibu yang bilang sayang sama Eunbi akan menghilangkan suara ledakan itu."

Sowon memejamkan matanya hingga air matanya kembali meluruh, untuk menutupinya ia memeluk Eunbi, mengusap-usap surai hitam Si kecil dengan penuh kasih sayang.

Dibilang masih kecil tapi Eunbi bisa begitu pandai merangkai kata, dibilang sudah cukup dewasa tapi dia masih anak-anak. Tapi caranya melawan rasa takut membuat Sowon lebih tenang, terlebih sekarang dia akan mejalani kehidupan tanpa pendamping.

Mungkin Tuhan sedang mengabulkan doa-doa Eunbi yang sebelumnya ingin dekat dengan Sang ibu. Dan mungkin pula ini merupakan jalan di mana Sowon harus lebih memperhatikan putrinya.

- 𝘔𝘖𝘔 : 𝘋𝘖𝘕'𝘛 𝘓𝘌𝘈𝘝𝘌 𝘔𝘌 -

MOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang