Bab 2

1.4K 90 13
                                    

Ohm sibuk memberikan penjelasan kepada junior tentang acara pendakian ke Arjuna. Selepas UTS nanti, anak-anak mapala berencana mengadakan hiking. Karena awal tahun dan dua bulan lalu mereka sudah menyusuri pegunungan di Jawa Barat dan Jawa Tengah, sekarang adalah saat mereka menapakkan kaki di Jawa Timur. Mereka jelas tidak mungkin ke Semeru sebab gunung tertinggi di pulau Jawa tersebut masih ditutup akibat seringnya mengalami erupsi. Tidak mungkin pula ke Raung, karena bekal yang para kating berikan kepada junior belum cukup. Sementara ke Argopuro masih bisa dipertimbangkan. Hanya saja, lamanya perjalanan yang mereka tempuh, bisa membuat para anggota kelelahan sedangkan di kampus masih ada Pekan Olahraga Mahasiswa yang harus dihadiri oleh seluruh mahasiswa. Jadilah pilihan itu jatuh ke Gunung Arjuna.

Pakin pernah ke sana. Mungkin sekitar tiga atau empat kali. Ia tidak begitu ingat. Dia sebenarnya malas. Liburan setelah UTS jelaslah adalah hal yang patut digembirakan dengan tidur sepanjang hari, main game sampai kedua tangannya kesleo, atau nonton bokep yang ia kunjungi tatkala malas ngapa-ngapain. Hanya saja, permintaan Ohm untuk mendampingi para junior, ditambah jajaran kating mapala yang sibuk mempersiapkan POM dan pekan teater, jelas bukan sesuatu yang bisa ia tolak begitu saja. Membayangkan menghabiskan belasan jam untuk menempuh jarak Jakarta — Malang menggunakan kereta api, sudah membuatnya mengerang berat. Itu jelas memuakkan. Bisa meruntuhkan letupan endorphin yang kehadirannya tinggal berutas-utas saja. Setelah berdiri sekitar satu jam utuh dengan puluhan kali kuapan yang tidak bisa ditoleransi kehadirannya, akhirnya pertemuan itu ditutup oleh sang ketua mapala.

Ohm Pawat Chittsawangdee. Mahasiswa Sastra Indonesia — teman sefakultas Pakin — adalah sosok yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Usianya mungkin baru menginjak dua puluhan, tapi karismanya di mata semua orang tidak bisa diganggu gugat. Ia memiliki rambut berpotongan pendek yang sangat cocok untuk bentuk mukanya. Kulitnya bersih seperti biji kemiri. Matanya bulat penuh, dengan iris gelap yang mengingatkan Pakin pada biji pala. Selain keahliannya di bidang hiking dan panjat tebing, kesusastraan Ohm melebihi apa yang bisa disangka orang-orang. Cerpennya sering dimuat koran-koran lokal maupun nasional. Novelnya beberapa kali mencetak best seller, bahkan enam dari tujuh novel ciptaannya diangkat ke dalam film layar lebar. Tidak hanya itu, ulasannya tentang film maupun novel mendapat banyak sambutan positif yang sebagian besar digunakan khalayak sebagai rujukan penilaian sebuah bacaan maupun tontonan. Ringkas cerita, Ohm adalah penulis flamboyan, yang dengan mudah disukai oleh siapa saja — yeah, termasuk Pakin kalau boleh ditambahkan.

"Kupikir amanat yang ingin kamu sampaikan di cerpenmu berjudul Perempuan Pukul Empat Pagi itu terlalu kentara," ucapnya ketika ia dan Pakin membereskan ruang mapala. Para junior itu sudah membubarkan diri. Kini tinggal mereka berdua di sana. "Oke, katakanlah kamu menulis apa yang terjadi di Ndolli sewaktu Risma membubarkan tempat itu, tapi menjadikan Martha yang di sepanjang narasi kamu gambarkan sebagai perempuan biasa, berlatar pendidikan yang tidak dia tamatkan, dengan segala karut marut kehidupan yang krisis ekonomi dari kecil sampai sekarang, kalimatnya terlalu memiliki gelar ijazah tinggi."

"Gue sebenarnya juga bingung mau memasukkan amanat seperti apa. Beberapa kali cerpen gue selalu mendapat review pedas dari Mas Force, yang sampai sekarang membuat gue kayaknya kesulitan menembus media koran." Merogoh celana jeans belelnya, Pakin mengeluarkan sebungkus keretek. Ia menawari Ohm yang turut mengambil sebatang. "Memasukkan amanat itu susah banget, sih. Bagaimana caranya supaya kita nggak kejebak dalam menggurui pembaca, tapi cerita kita nggak kosong aja gitu." Pakin mengembuskan asap rokok, lantas duduk di salah satu meja. Di depannya, Ohm melakukan hal serupa. Anak asli Solo itu selalu tampak tenang di mana pun berada, dan Pakin suka dengan ketenangan yang ia tawarkan. Rasa-rasanya segarba masalah yang ia gembol, akan selalu mendapatkan jalan keluar entah bagaimana caranya. Ia merasa dilindungi dengan cara sederhana dan bersahaja — begitu berbeda dari bagaimana Neo memperlakukannya. "Gue udah memakai berbagai macam genre. Tapi semua mental. Mas Force menyarankan gue untuk membuat cerpen horror kontemporer dengan memasukkan problem-problem urban seperti social ekonomi."

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang