Bab 20

343 21 3
                                    

Di antara puluhan cerpen yang pernah Pakin buat, Perempuan Pukul Empat Pagi adalah cerita lain. Ia tercipta dari ketakutan dan keresahan, paragraf-paragrafnya adalah parafrase dari setangkup kebencian, diksi yang dikandung badan lahir dari rahim kekecewaan, makna yang tersirat adalah jabang-jabang dari kemiskinan yang pernah mencabulinya, sementara makna yang tidak pernah bisa diambil para pembaca adalah kisah Pakin yang hening, rasa sedih yang senyap, air mata yang dibekap, lara yang dipeluk pekat. Ia adalah kesunyian tempat di mana Pakin lahir dan dibesarkan. Ia adalah sebenar-benarnya duka di mana hidup Pakin terasa rengat.

Perempuan Pukul Empat Pagi adalah Bunda yang selalu mengamuk ketika subuh mulai merayapi kaki langit. Ketika kesadarannya mulai mumbul, dan laki-laki yang tidur di sebelahnya telah ucul, sementara aroma persetubuhan menyengat dari sperma yang mulai mengering, kehampaan itu perlahan menggerogoti usus dan hatinya, kemudian naik memukul kantung jantung dan paru-paru, yang akhirnya ia loloskan dalam laungan panjang menyusul suara tarkim dari musala-musala terdekat. Iblis-iblis kematian yang menemaninya semenjak jabang Pakin bersemayam di dalam rahim, memuntahkan ribuan sumpah serapah kepada tubuh kurus yang tengah meringkuk memeluk guling tipis dimakan ngengat.

Rambut keriting Pakin ia jambak, dan dengan kekuatan membabi buta, ia lempar anak semata wayangnya. Pakin tersentak. Badannya menghantam tembok yang gampingnya mulai mengelupas dan rontok. Sekonyong-konyong ia melek. Matanya memerah, bekas ngangut yang masih berkerak. Ia melihat Bunda dengan rasa takut yang lewah di mana-mana.

Perempuan itu memakai gaun tidur dari kain satin berwarna kuning blewah yang ketika Pakin pegang, teksturnya halus. Di mata Pakin, gaun tidur Bunda adalah baju dinas kerjanya yang paling keren. Ia terlihat mewah, memeluk tubuh Bunda yang indah, dan menjadikan kecantikan Bunda seperti mampu membuat orang datang menyembah. Rambut Bunda bukan rambut Pakin yang keriting—yang di masa-masa ia mempelajari pelajaran ilmu pasti, Pakin bertanya-tanya, dapat dari manakah keriting rambutnya?—melainkan rambut lurus dan mengilap apabila tertimpa lampu kuning lima watt, tergerai lepas sampai susunya, yang ketika Pakin sedang membaca materi PKN dan laki-laki tidak dikenal itu bertandang, ia selalu meremas-remas rambut indah Bunda di yang ada di atas susu-susu. Mata cokelat Bunda seperti biji kemiri, menyalak dalam kemarahan mirip biri-biri. Bibirnya yang Bunda gincu merah belepotan di mana-mana, sampai cemong di pipinya yang seputih tahu.

Pakin tahu jika dalam kondisi seperti ini, tubuhnya yang akan menjadi samsak. Dokter klinik di sekolah Pakin pernah berkata sewaktu Pakin diperiksa; ia kekurangan gizi, hampir-hampir busung lapar. Dan guru yang menemaninya hanya mampu menatap iba, lalu berujar bahwa ia akan mendiskusikan masalah gizi buruk muridnya kepada sang walimurid, yang sampai Pakin bermigrasi ke Jakarta, kunjungan itu tidak kunjung tiba, kalimat itu hanyalah sederet frasa untuk mempertontonkan betapa ia memiliki nilai-nilai luhur kemanusiaan. Pakin tetap kelaparan, yang setiap pagi dipaksa hanya mengonsumsi air gula, dan setiap malam menemani Bunda dan pria entah keberapa dalam proses percabulan yang datangnya mulai membosankan. Bunda mendekati Pakin, wewangian yang Bunda semprot sebelum om-om itu datang tercium kuat, membuat Pakin kian sekarat. Lalu dalam satu kekuatan yang hebat, Bunda mendendang kepala Pakin. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan....

Pakin menutup mata. Tangannya sedikit bergetar memegang surat kabar dari Jawa Pos. Di salah satu halamannya, dengan judul diketik gemuk, tebal, dan besar, sebuah ketakutan yang selama ini bernapas di dalam keheningan, tercetak gagah dan berani; Perempuan Pukul Empat Pagi. Di bawah judul cerpen itu, nama pena Pakin diketik kecil dan sederhana; pecahankaca. Seakan-akan memberi validasi kepada Pakin, bahwa sampai kapan pun, ia akan selalu hidup di bayang-bayang ketakutannya. Sejauh mana pun ia berlari, ia akan tetap dikalahkan oleh traumanya. Sedalam apa pun ia bersembunyi, ia akan dihantui penderitaannya.

Jadi, pesan teks singkat yang dikirim Ohm kepadanya pagi tadi, kembali terkampul-kampul: bagaimana rasanya ketika pada akhirnya cerpen kamu dimuat koran? Sambil berujar bahwa ia telah meng-gosend­ koran ke kos-kosan Pakin. Padahal bisa saja Pakin membaca pemuatan cerpen itu di laman ponsel, tapi Ohm memiliki pandangan lain. Melihat anakmu lahir di atas kertas, euforianya jauh berbeda, Kin, dengan melihatnya berselancar di gawai.

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang