Bab 4

849 89 10
                                    

Pukul satu dini hari Pakin mendadak bangkit dari tempat tidurnya. Hampir-hampir meloncat, ia mencumbui meja belajar, membuka laptop, dan memberedeli draft cerpen yang kemarin sempat direview sama Ohm. Perempuan Pukul Empat Pagi. Apa yang menjadi tanda merah dari penulis flamboyan tersebut, tahu-tahu menampar tempurung kepala Pakin. Ide-ide itu sekonyong-konyong rontok dan membanjiri akalnya. Tanpa pikir panjang, sepuluh jarinya lincah menyodomi tuts-tuts kibor.

Selain karena tantangan yang dia dapat langsung dari Mas Force, Pakin pengin juga mencicipi nikmat membaca nama penanya terpampang di media koran lokal maupun nasional. Ia ingin merasakan gairah itu. Apakah sensasinya sememabukkan ketika lubang anusnya dipenuhi oleh batang penis? Apakah gairahnya segahar kala kedua putingnya dipermainkan secara tidak senonoh? Ia tidak sampai hati memiliki mimpi menyamai bahkan mengungguli ketenaran Ohm. Edan itu namanya. Penulis bajingan itu otaknya dalam mencabuli ide lantas melahirkannya dalam rupa jabang bernama tulisan bukanlah isapan jempol semata. Dalam kedipan mata, sangat mungkin Ohm mampu menciptakan cerpen. Cerpen-cerpen yang berhasil ia telurkan bukan semata stensilan maupun roman picisan. Lebih dari itu. Mereka semua berdaging yang membuat Pakin hampir-hampir kelojotan saking kenyangnya menyantap.

Mungkin sekitar dua jam, Pakin rampung menuntaskan revisi-revisi yang Ohm coret. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga. Pakin menyambar ponsel, mendial nomor Ohm. Akan terasa sangat berakar seumpama ia mengirimkan draft itu melalui email. Pria keparat tersebut selalu menelantarkan email-email yang masuk soalnya.

"Ada apa?"

"Gue ke kos-kosan lo sekarang."

"Tiba-tiba banget?"

"Gue barusan nyelesaiin cerpen yang lo review kemarin. Mau kasih unjuk lo sekarang. Penasaran mampus, seriusan."

Di seberang telepon, Ohm terkekeh. "Kamu ke sini tar jadi masalah lagi, lho. Ogah banget harus dicereweti sama pawangmu. Tolong, dong, itu pawang dikasih jatah, biar nggak mencak-mencak seperti macan," omelan kesal Ohm tak pelak membuat Pakin mendengus. "Kamu tahu, nggak, sih, setelah hampir sejam dia maki-maki aku di telepon, dia masih memborbardir ponselku sama chatnya. Kayaknya dia dendam banget aku ngebiarin kamu sibuk dan nggak makan. Kamu jadi sakit akhirnya. Padahal kiriman makanan Neo di kosku bisa bikin hajatan orang sekampung. Kaya banget emang tuh anak."

Pakin memutar bola mata berkali-kali. "Please, deh, gue cuma kena magh. Emang dia aja yang berlebihan ngetreat aku kayak orang kena stroke." Tawa Ohm berderai di seberang telepon. "Lo tenang aja. Neo lagi tidur. Baru pulang jam dua belas tadi ngapelin Luna. Nggak mungkin dia ngerecokin gue. Gerbang lo jangan dikunci, ya?"

Sambungan diputus. Pakin sudah akan menjarah kunci motor CB-nya yang tergeletak di meja belajar ketika tangannya tahu-tahu ditangkis keras. Dengan wajah berantakan, rambut acak-acakan, kaus kusut, lingkar mata menghitam, pemuda itu ternyata sudah berdiri di belakang Pakin. Si keriting hampir-hampir terlonjak. Kekagetan melihat sosoknya yang timbul mendadak merenyutkan jantungnya tiba-tiba.

"Sialan! Dah kayak hantu aja lo tahu-tahu di sini!"

Neo menggosok matanya yang gatal. "Mau ke mana?" tanyanya parau, seolah tidak setuju kawan menggemaskannya itu minggat pagi-pagi buta ini.

"Gue mau revisi naskah cerpen ke Ohm. Kalau dia bilang fiks, gue mau kasih ke Mas Force biar dikirim ke kornas. Siapa tahu aja cerpen gue kali ini bisa naik cetak."

"Ini masih jam tiga, Kin. Siangan aja napa? Sakit lo juga belum pulih gitu."

"Kelamaan, Nyo. Gue udah penasaran mampus sama hasilnya. Udah lo tidur aja. Baru balik jam dua belas gini."

"Dan ngebiarin lo sendirian ke rumah Ohm lagi? Setelah apa yang dia lakukan pada lo? Makan tuh mimpi!"

Pakin memutar bola mata.

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang