Bab 8

410 22 2
                                    

Arjuna memang tidak memiliki trek berpasir laksana Semeru, yang apabila kau melangkah satu tapak, kau akan merosot dua tapak. Tidak juga memiliki jalur siratal mustakim yang begitu mengilukan dengkul di Gunung Raung. Tapi perjalanan menuju puncak Ogal-Agil bukanlah perjalanan yang bisa ditempuh dengan mudah. Selepas Lembah Kidang, tidak ada bonus sama sekali. Trek nanjak terus. Kadang melewati bebatuan besar, menyusuri padang rumput, dan hutan pinus sampai bukit pertama. Dari bukit ini, tempat para mahadewa menjamu Dewi Sembadra mulai terlihat. Setidaknya, di belakang dua bukit lagi.

Setelah satu jam penuh tanpa beristirahat rombongan mapala GMM mendaki, mereka berhenti sejenak di kawasan vegetasi hutan pinus. Dari sepuluh mahasiswa yang ikut, hanya lima yang summit, sisanya menunggu di area camp bersama empat porter. Kelima mahasiswa tersebut ada Fourth, Winny, Satang, dan dua anak dari fakultas teknik—Luna yang masih mengantuk dan mengeluh betisnya sakit, memutuskan tinggal di camp berteman sleeping bag hangatnya. Formasi guide tetap sama seperti ketika pertama kali mereka naik. Ohm di depan membawa keril berisi makanan dan minuman, Pakin di tengah, Neo menjadi sweeper. Sejak terhitung sejam penuh juga, sudah lima batang rokok Pakin sulut untuk membantu tubuhnya mendulang kehangatan.

Ia sudah akan menyulut batang yang keenam ketika suara Winny menginterupsi. "Buset, dah, Bang, bibir lo dah kayak lokomotif." Ia menurunkan buff, dan kepulan uap dari mulutnya terembus. "Lo bisa mati konyol karena penyakit paru kalau lo kayak gini terus."

Pakin terkekeh. Ohm menggeleng melihatnya, sementara Neo hanya menatap dalam diam. Ia mengangsurkan sebotol air mineral ketika salah satu mahasiswa teknik minta. Fokusnya terpusat penuh di pelipis Pakin yang berplester. Apa yang terjadi padanya? Dia terjatuh? Tapi kapan? Terakhir saat ia melihat Pakin ketika makan malam, pelipisnya belum terluka. Ia dengan keparnoannya terhadap Pakin sudah akan memeluk pria itu sewaktu rombongan menyantap hidangan sebelum summit. Namun hal tersebut urung ia lakukan, mengingat Pakin masih mengibarkan bendera perang kepadanya.

"Dingin banget apa, Bang?" tanya Fourth. Mengeluarkan botol mineral dari daypack dan menyodorkanke arahnya. "Minum dulu, Bang. Lo belum minum dari tadi gue lihat-lihat."

"Aman, Fourth. Lo kasih ke Winny dan Satang saja." Dan dua sahabatnya itu tanpa pikir panjang langsung menerima tawaran Fourth.

Subuh telah benar-benar terjatuh. Garis fajar keemasan terlihat melintang di balik jajaran pohon-pohon pinus. Jika mereka mendaki dengan kecepatan seperti ini, kemungkinan besar mereka bisa melihat sunrise di puncak. Tapi Ohm tadi sudah mewanti-wanti. Berjalan semampunya, jangan sampai ngoyo hanya untuk mengejar sunrise. Keindahan matahari yang menyembul di puncak gunung memang terlalu sayang untuk dilewatkan, tapi sekali lagi, dia tidak ingin melihat ada anggotanya yang terluka akibat obsesi itu. Ia ingin mereka mendaki dengan senang, tanpa target apalah-apalah. Itu saja.

"Jalan sekarang atau break lagi?" Ohm membuka suara. Pendaki lain terlihat baru saja melewati mereka. Ohm dan kawan-kawannya menyapa para pendaki tersebut. Di belakang, pantulan-pantulan cahaya headlamp terlihat, kemungkinan itu pendaki yang lebih belakang lagi. "Tenang saja, jangan ngoyo-ngoyo. Puncak nggak ke mana-mana."

"Asik dah, Bang." Si anak teknik berseru. "Lanjutlah, Bang. Masih kuat banget ini."

Dan rombongan itu kembali naik. Sebelum Pakin melangkah, tangannya ditahan oleh Neo. Pemuda berambut keriwil tersebut menoleh, menaikkan satu alis untuk bertanya apakah gerangan niat Neo menghentikannya.

Tapi sang sahabat tidak mengeluarkan sepata kata. Sebagai ganti, ia menyodorkan jempolnya kepada Pakin. Kening Pakin berkerut dalam. Pertanyaan-pertanyaan timbul di tempurung kepalanya. Ia sudah akan mengabaikan Neo dengan tingkah tidak jelasnya, ketika pemuda itu justru menyentuhkan ujung jempolnya di mulut Pakin.

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang