Bab 27

103 8 0
                                    

"Menangis kenapa lagi, Pakin?" Annelies yang tengah sibuk menyalakan bara kayu di dalam tungku, menoleh ketika seorang bocah kurus memasuki dapur sambil terisak-isak.

"Mereka menghina Pakin nggak punya ayah, Bunda. Mereka menghina Pakin anak pembawa sial dan anak haram."

"Ck. Bunda, kan, sudah bilang padamu berkali-kali. Kalau kamu dijahati, lawan mereka satu per satu. Kalau perlu kamu tonjok wajah-wajah mereka sampai babak belur. Jangan kamu bawa tangisanmu ke dalam rumah sebab itu justru membuatmu akan semakin kalah."

"Tapi dia anak Ibu Nawang yang gemuk itu, Bunda. Si Yudha. Dijorokkinnya tubuh Pakin sampai membentur tembok dan Yudha semakin membawa rombongannya mengolok-olok Pakin."

Anne bangkit dari dingklik, berjalan ke belakang guna mengambil panci berisi air sumur untuk ia jerang di atas tungku. Setelah menutupnya, ia menghampiri bocah kesayangan itu dan berjongkok di hadapannya. Ia menurunkan lengan kurus Pakin yang menutupi matanya, kemdian memutar bola mata kesal sewaktu cokelat berair mata anaknya terlihat dari lipatan tangannya. Biji mata yang akan selalu mengingatkan Anne pada gerbang dari seluruh malapetaka dalam hidupnya.

"Ada yang luka? Sini Bunda obatin."

"Punggung Pakin sakit, Bunda. Mungkin tergores, tapi Pakin tidak tahu."

Anne mengambil obat-obatan sederhana yang ia simpan di para-para, lalu membuka kaus Pakin yang kerahnya sudah longgar ke mana-mana. Punggung seputih repihan salju itu terlihat bergarit merah. Dengan telaten Anne membubuhkan larutan salin di atas kassa untuk membersihkan luka itu, sebelum ia olesi menggunakan betadine. Setelah rampung, ia memegang pundak Pakin sehingga bocah berambut keriting itu menghadap seluruh ke arahnya.

"Kamu ingat ini kata-kata, Bunda, ya, Nak, Pakin Sayang, jangan pernah sekalipun kamu mengalah kepada siapa saja bahkan apabila mereka memiliki badan segede kingkong. Apa yang mereka berikan padamu, kembalikan sepuluh kali lipat. Tapi jika mereka menghajarmu, kamu bawakan mereka kematian. Berkali-kali Bunda bilang padamu, jangan pernah mengalah sebab dunia tidak pernah membaik kepada makhluk-makhluknya yang lemah."

Walaupun Pakin tidak tahu apa maksud Bunda, Pakin mengangguk sebab Bunda akan mengamuk jika ia tidak menjadi anak baik. Anne bangkit, memberikan pesan kepada Pakin agar segera mematikan bara api apabila air yang ia rebus telah mendidih. Ia keluar dari rumah, membawa sekepal emosi di kedua telapak tangan. Harus ada yang bertanggung jawab atas tangis dan luka yang menimpa anaknya. Tidak peduli bahwa bandit-bandit kurang ajar itu adalah anak pemilik sepetak kamar kos tempat ia menyewa, bahkan sekalipun mereka adalah anak pemilik hukum, jika mereka berani menyentuh atau membuat Pakin kecilnya menderita, ia akan mengganjarnya setimpal. Tuhan telah benar-benar pergi dari hidupnya, maka sejak langkah kakinya meninggalkan rumah di Lembang dan melahirkan Pakin seorang diri, Anne yang menjadi tuhan atas hidupnya dan Pakin. Ia yang mendatangkan keadilan itu dalam hidupnya, dengan kedua tangannya sendiri. Dan ia tidak akan mengeluh pada siapa pun. Pada apa pun.

"Yudha! Yudha keluar kau, Yud! Sini hadapin Tantte Anne! Jangan kamu beraninya dengan si Kecil Pakin! Yudha! Keluar kamu, Keparat!" Anne berteriak lantang. Perkampungan kumuh di Tangerang Selatang tempat ia melarikan diri selama ini, tampak gempar dengan jeritannya membabi buta. Warga perkampungan yang tumpah di gang sempit itu hanya menatap sekilas, lalu melanjutkan kembali kegiatan mereka. Amarah Anne yang meledak-ledak dan suka membuat onar di sana-sini sudah tersebar sampai ke seluk terpojok. Bahkan sehari saja tanpa mendengar suara muntahan Anne seperti sebuah keanehan.

Tapi Anne tidak peduli. Selama apa yang ia lakukan adalah benar menurutnya, Anne tidak akan gentar. Ia benar-benar telah menyulap pribadi putri presiden yang anggun itu menjadi anjing kelaparan. Kemiskinan ditambah kondisi lingkungan tempatnya tinggal yang jauh dari kata layak, benar-benar mampu membentuk karakternya setangguh karang. Permukiman itu di daerah Pondok Aren. Areanya tidaklah luas, namun rumah penduduk yang luasnya sejengkal tangan, tumpah ruah di sana. Dan dari ratusan bangunan di sana, mungkin hanya satu dua yang semi permanen termasuk kos-kosan Anne. Ia memang miskin sampai ke tulang belulang, tapi ia tidak akan membiarkan kemiskinan itu turut meringkusnya dalam bangunan triplek yang rentan terhadap angin, hujan, dan panas. Pakinnya bisa tumbuh menjadi anak yang gampang sakit apabila ia ajak bermukim di bangunan seperti itu. Jalanan di perkampungan itu begitu sempit, jadi sejauh mata memandang, yang Anne temui adalah orang-orang yang sama, dengan kemiskinan yang sama, dengan perkonomian yang sama, dengan keluhan-keluhan yang sama pula. Aliran listrik dan air sangat sulit di sana, jadi ketika malam-malam PLN memutus daya, ia selalu menyalakan cublik supaya Pakin tetap bisa belajar membaca dan berhitung. Sampah bertumpukan di mana-mana, membuat hewan-hewan seperti lalat, tikus, dan ular sering berkeliaran di permukiman tersebut. Sementara sungai yang mengalir di sepanjang perkampungan, airnya begitu pekat dan bau tidak sedap dari limbah keluarga. Mereka bahkan lebih busuk daripada comberan.

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang