Bab 18.b

153 16 0
                                    


Barangkali yang para filsuf ucapkan tentang kehidupan tak ubahnya perputaran roda adalah suatu kemustahilan bagi Pakin. Sebab, sejak malam membahagiakan ketika ia menemani Neo nongkrong dengan kawan-kawan sefakultasnya berakhir, musim seminya pun turut padam. Kehidupan para pecundang yang rasa-rasanya muak banget Pakin diami, membuka mata seiring kedua kelopak matanya terangkat. Karena apabila memang kehidupan memiliki poros, dan ia bisa berputar sebagaimana roda-roda sepeda, maka Pakin berani sumpah, ia tidak pernah menjumpai titik tertinggi dari rotasi tersebut. Yang ada justru nasibnya yang dilindas oleh ribuan roda-roda tronton—setiap hari, setiap waktu, setiap saat.

Sewaktu Pakin berbicara kepada Oma bahwa ia akan bisa menanggung semua biaya kuliah, Pakin bersungguh-sungguh dengan apa yang ia ucapkan, walaupun ia tidak benar-benar tahu bagaimana cara ia menanggulanginya. Pakin kepikiran untuk bekerja paruh waktu. Saat itu yang terlintas di kepalanya hanya Perth. Tapi kating sialan itu ternyata masih menyimpan dendam kepada Pakin yang membuat celaka barnya ketika Pakin part time di sana. Ia pernah meminta pekerjaan kepada Ohm bahkan, yang justru berakhir dengan keinginan Ohm untuk membiayai UKT-nya secara cuma-cuma. Pernah juga meminta bantuan pada Fourth. Tapi si adik tingkat itu tahu-tahu mentransfer nominal dalam jumlah gede yang seketika Pakin kembalikan tanpa pikir panjang.

Edan, lah. Dia hanya ingin dibantu mencari kerja, bukan untuk dibiayai UKT-nya. Dan jika Ohm dan Fourth saja bersedia tanpa paksaan untuk mengambil alih tanggung jawab pembiayaan kuliahnya, maka apabila Pakin meminta pekerjaan kepada Pangeran dan Neo pasti mereka akan menjawab hal serupa, bisa jadi lebih mengerikan tidak masuk akalnya. Apalagi Neo. Barangkali tanpa meminta izin darinya, sang sahabat langsung pergi ke kampus untuk melunasi tanggungan-tanggungannya.

Bukannya Pakin tidak suka diperlakukan demikian, hanya saja, perlakuan mereka membuat Pakin merasa semakin rendah diri dan meragukan kemampuan dirinya. Ia bisa saja turun ke arena untuk mengikuti balap motor seperti yang dilakukan Fourth, tapi jelas itu mustahil jika sirkuit dikuasai sang adik tingkat. Kekhawatirannya yang menjelma kepo bakal mengorek alasan utama Pakin kembali turun ke jalanan setelah bertahun-tahun meninggalkannya. Pakin pun sudah mencari-cari pekerjaan sampingan di sekitar kampus, tapi mereka menutup diri dari Pakin, seolah-olah ia lepra yang bisa menularkan penyakit.

Maka, satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah mengajukan penurunan UKT dan penangguhan pembayaran walaupun ia tidak tahu aksinya ini berhasil atau tidak—sementara ia terus giat mencari pekerjaan untuk menambah duit tabungannya.

Ia keluar dari ruang birokrat kampus ketika menjumpai Drake berjalan dari arah berlawanan dengannya. Alis lebat laki-laki itu tertarik ke atas saat melihat wajah Pakin, lalu melebarkan senyum sambil menyapanya.

"Woiyo, apa kabar lo, Kin? Lama nggak ketemu." Drake menepuk bahu Pakin yang Pakin respons dengan anggukan kecil.

"Masih hidup, sih, jadi kemungkinan baik-baik saja."

Mahasiswa Hubungan Internasional itu terkekeh mendengar kelakar Pakin.

Sejak aksi pemukulannya kepada Drake, Pakin belum pernah sekali pun menghubungi Drake sekadar meminta maaf. Bukan karena dendam atau amarah yang masih merekah, melainkan Pakin seolah-olah tidak memiliki tenaga cukup untuk berinteraksi dengan Drake. Segala sesuatu yang berhubungan dengan cowok itu selalu berujung dengan petaka, masalahnya. Jadi dengan pikulan beban hidup yang demikian mampu membuat jembut-jembut rontok, Pakin memilih membiarkan masalah mereka mengapung dan terombang-ambing mirip kapal-kapal para nelayan.

Ia berjalan menuruni tangga, dan rupanya Drake mengikuti.

"Lo ada apa ke gedung rektorat?" tanya Pakin, bingung mau ngomong apa sebab pemuda itu kini menyejajari langkah kakinya.

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang