Bab 29

127 11 1
                                    


Pakin menatap ke luar jendela. Taman air terlihat di pandangan mata. Terdapat teratai, papirus, dan rumput air yang terapung-apung di permukaannya yang tenang. Mengepung taman air, berbagai macam bunga seperti mawar, lavender, dan begonia tumbuh bermekaran dengan warna-warna cerah yang ketika embusan angin datang, mereka berayun-ayun dalam gerakan lembut. Di sisi kiri dan kanannya ditumbuhi pohon ek, dan tumbuhan semak seperti azalea dan rhododendron berwarna hijau, yang terlihat begitu kontras dengan lautan bunga warna-warni. Dan tak jauh dari kebun bunga tersebut, ada pula taman dinding dengan tanaman merambat dan lumut yang tumbuh secara vertikal.

Pakin menghela napas panjang. Ia mampu melihat wajahnya yang masih pucat di pantulan kaca di hadapannya. Ini sudah sebulan sejak ia bangun dari koma dan menjalani operasi transplantasi kornea akibat ia menghunus matanya sendiri dalam drama penuh tragedi hari itu.

Tiga bulan tertidur dalam koma panjang, Pakin tidak merasakan apa-apa selain hampa yang begitu mampu menonjok kepala. Ketika membuka mata untuk pertama kali, memang sekujur tubuh Pakin kaku dan luka-luka tusuk itu memberikan efek pedih sampai tulang. Tapi tidak ada yang mampu menakar kekosongan yang sangat mencekik ulu hati. Kekosongan yang tidak sanggup ia ejawantahkan dalam kalimat maupun perbuatan selain berujung pada penyesalan panjang. Siapa yang menyangka bahwa ketika ia koma, memori masa-masa silam datang berduyun-duyun mengeroyok pertahanan. Kenangan yang menghilang selama enam bulan, sosok Pangeran yang sebenarnya, bahkan ingatan masa-masa kecil ketika ia masih tinggal di daerah Tangerang. Ia mampu merekam jelas kehidupan itu semua — setiap inchinya, bahkan jika itu sedetail butiran debu. Kenapa Bunda pada akhirnya tidak lagi pergi bekerja ke pabrik, kenapa anak-anak kecil sebayanya tidak lagi merundung ia tidak memiliki ayah, kenapa ia begitu mencintai ayam goreng KFC, dari mana dia mendapatkan semua kemampuan berbahasanya, apa tujuan utamanya mencoba menulis cerpen, buku pertama apa yang membuatnya jatuh cinta pada bacaan, dari mana ia mendapatkan sifat berani menentang kekejaman kampusnya sendiri, semuanya. Pakin mampu mengenang itu semua dan menjabarkannya dalam sebuah cerita paling pedih yang sanggup menjatuhkan air mata Pakin dalam kubang penderitaan. Bahkan kalimat terakhir yang ia bisikkan sebelum menemukan jasad Bunda tergantung di bangsal esok harinya, terasa bergetar di kuping Pakin dan itu sungguh membuatnya menggigil. Setelah karut marut dalam hidupnya, ia telah melupakan seberapa besar cintanya pada Bunda, seberapa besar sayang itu untuk perempuan kesayangan. Namun ketika cinta dan sayang itu kembali dalam bentuk paling azali, ia justru harus kehilangan Bunda. Dan dengan lidah itu pulalah, ia telah mengantarkan Bunda ke keranda kematian. Dengan ucapannya yang keji itulah, ia yang mendatangkan kematian buat Bunda. Seharusnya Pakin tidak usah selamat, sebab dosa yang ia lakukan kepada Bunda teramat kuat.

"It's been a month since you woke up, and we haven't had a chance to catch up." Andrew datang menghampiri Pakin yang termenung di atas kursi rodanya di ruang baca, seperti yang selalu ia lakukan sejak ayah biologisnya mengajak ia dan Oma tinggal di Kastil Laeken. "I just want to know, Son. How are things going? How are you feeling right now?"

Pakin masih terdiam. Matanya menerawang jauh. Ia tidak tahu harus memosisikan dirinya bagaimana di hadapan sang pangeran Brussels ini, yang kebetulan dari dialah ia bisa dilahirkan di muka bumi. Ada amarah yang tidak mampu diampu, ada luka yang tidak bisa ditebus bahkan setelah ia datang dan menyelamatkannya, ada keengganan dan ketidaksudian menerimanya dalam sebuah pengakuan. Kendati Oma telah menjelaskan seluruh duduk perkara dan betapa giatnya laki-laki ini mencoba mencari tahu keberadaan dia dan Bunda, Pakin tetap tidak bisa menjatuhkan maaf maupun penerimaan.

Andrew mendesah berat, mengusap muka, lantas menggeret kursi terdekat untuk ia sandingkan dengan Pakin. Ia mengikuti arah pandang Pakin, dan berharap bahwa ia mampu menatap apa yang anaknya lihat.

"I know I messed up, Kin. I've put you and Annelies through a lot. No amount of sorrys will ever make it right." Pakin mendengar suara tarikan napas yang dilepas dengan begitu dalam. "But you should know, Son, I really, really love your mom. Loving her has been the best part of my life, and I've never regretted it." Andrew mengusap cambang di rahang persaginya. Mata cokelat itu meleleh pada duka berkepanjangan. Ia membongkar tiga kancing teratas kemeja yang dikenakan supaya gencetan dalam dadanya terasa sedikit longgar. "Annelies was not only beautiful, but she had a real passion for life, and I've learned a lot from her along the way. Annelies's perspective on the world revealed her brilliance. When she delved into a book, she transformed into an extraordinary woman. She's beautiful and remarkable, Pakin. I can't describe her abilities in a single sentence because she surpasses them all."

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang