Bab 9

423 22 6
                                    

Pekan Olahraga Mahasiswa yang diadakan GMM sekali dalam setahun adalah ajang paling bergengsi antarfakultas. Trofi kemenangannya mampu meninggikan pride fakultas mana pun yang meraihnya. Ada banyak cabang olahraga yang dilombakan di sini; renang, sprinter, maraton, sepakbola, tennis, badminton, voli, basket, dan masih ada beberapa lagi yang sanggup membuat para mahasiswa terpantik untuk memberikan yang terbaik. Sejak Pakin kuliah di sini, FEB-lah yang menjadi rajanya POM. Bahkan Fakultas Olahraga dan Kesehatan tidak pernah benar-benar mampu menggulingkan primadona kampus tersebut. Fakultas Teknik yang terkenal garang pun melempem. Apalagi jika Neo turun di lapangan basket, semua fakultas bakal lari tunggang langgang seperti anjing kecepirit.

Sebenarnya bisa saja Pakin mendapatkan nomor di cabor badminton sebab saat masih belia, ia pernah menggeluti olahraga tersebut sampai kancah nasional. Hanya saja, cidera punggung yang ia derita ketika menginjak kelas dua belas, memaksa Pakin menggantung raket. Ah… Pakin mengingat hari itu.Hari di mana hasil pemeriksaannya keluar, dan dokter langganan Pakin check up mengudarakan informasi yang seketika menyedot akal sehat; ia harus berhenti bermain badminton jika ingin berusia panjang. Itu adalah salah satu masa terpuruk Pakin. Dalam hidup, guna menggulingkan sesuatu bernama duka, Pakin hanya bisa melampiaskannya dalam bentuk tangkisan-tangkisan kuat dan kencang shuttlecock. Konsentrasi yang ia berikan penuh ketika di lapangan, menindih dandang-dandang tempat kepalan-kepalan masalahnya ditanak. Sekarang konsentrasi itu sirna, seiring dengan datangnya ihwal-ihwal yang membanjiri kanal pertahanannya.

Setelah hampir dua jam Pakin dan teman sefakultasnya bertanding sepakbola melawan anak FSRD, peluit panjang berakhirnya pertandingan terdengar. Kemenangan 3-0 berada dalam genggaman anak FIB. Dua dari dua gol yang tercipta adalah hasil gocekan kaki Pakin yang membabi buta sore tersebut. Jujur saja pikirannya kalut sejak ia mendapatkan pesan dari Oma. Tanpa ampun Pakin bahkan langsung membanting ponselnya ketika suara perempuan sepuh tersebut berakhir di jaringan telepon. Untung saja ponsel Pakin masih bisa digunakan, jika tidak, tamat sudah riwayatnya.

Sejarah perkawanan dengan ibunya Bunda tidak bisa dibilang bagus, tapi tidak buruk juga. Sejak Bunda didiagnosis mengidap penyakit yang tak sudi Pakin ingat, Oma mulai berkunjung ke rumahnya. Dan Pakin baru tahu perawakan orang yang kerap menjadi antagonis dari cerita-cerita Bunda. Ia ayu. Kulitnya seputih buah pir. Rambutnya bergelombang, berpotongan pendek sampai pundak, halus dan seabu kabut yang menggantung di tanjakan Engkol-engkolan Gunung Sumbing. Matanya adalah mata Pakin. Cokelat berair seperti lelehan ekstrak kurma, mengingatkan Pakin pada kawah Gunung Kelud. Bibirnya tipis, berbelah sempurna, warnanya seranum buah bit. Ringkas cerita: Oma adalah sebaik-baiknya persona perempuan yang pernah Pakin definisikan segenap hati. Ia bisa menangkup keindahan dunia hanya dari potret dirinya yang sudah sepuh.

“Perkebunan memasuki masa-masa sulit, Kin. Hama menggerogot habis mengakibatkan kita nggak bisa panen teh tahun ini. Oma mungkin hanya bisa mengirimi uang untuk biaya kuliah. Tapi di luar itu, Oma mohon maaf. Oma akan usahakan supaya kamu tetap bisa meneruskan kuliah sampai lulus. Melihatmu menggunakan toga dan diwisuda adalah keinginan Oma, Nak. Maafkan Oma, ya, Sayang, yang harus membuatmu memasuki masa-masa paceklik seperti ini.”

Jujur, Pakin sama sekali tidak menggugat orang tua tersebut yang menurut Oma menyeret Pakin dalam masa-masa sulit. Pakin bahkan merasa malu. Di usianya yang sudah memasuki kepala dua ini, ia masihlah menjadi beban. Seharusnya orang tua itu sudah menikmati masa-masa pensiun, dengan berteman secangkir teh kamomil dan biskuit kelapa kesukaan Oma. Bukannya mengencangkan punggung dan merapatkan otot-otot untuk terus bekerja demi menafkahi Pakin.

Tai! Mengingat itu bising di kepalanya kembali bergembar-gembor. Suara-suaranya menyuruk-nyuruk telinga Pakin, membisikkan mantra mematikan yang menyudutkan eksistensi Pakin di muka bumi.

Lo itu beban, Kin!

Gue bilang juga apa? Lo itu beban!

Gue udah bilang, kan, lo kudu menjatuhkan diri di jurang Arjuna kemarin!

Lo, sih, ah elah, ngeyel banget.

Coba kalau lo mati, ibu lo bakal seneng banget karena bisa kentu sepuasnya, dan lo nggak membebani Oma yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan lo!

Oma udah tua, Kin. Udah bau tanah. Tega gitu lo membiarkan Oma memaculi sawahnya?

Tolol emang!

Diberi kesempatan mati di tempat terindah, malah lo tolak!

Berisik!

Berisik, tahu, nggak?

Pakin muak!

Demi Tuhan ia muak dengan segala ketidakberdayaannya ini.

Kalau dia memanglah beban seperti yang dituduhkan secara jahat oleh suara-suara yang kini menertawakannya di balik tempurung kepala, kenapa Tuhan tak membiarkannya mati sekarat saja? Kenapa?

Mengelap peluh yang bercucuran di wajah, Pakin menerima sodoran botol air mineral dingin dari asisten pelatih sepakbola fakultasnya. Pemuda berambut keriting tersebut menggasaknya rakus, lantas sisanya ia guyurkan ke wajah. Cairan dingin itu melindas permukaan wajah Pakin. Ia mendesah lega. Segar sekali. Kalau bisa ia ingin hidupnya yang kini seakan-akan membara laksana kobaran api di Bukit Teletubbies, disiram oleh seperiuk air dingin seperti ini. Pasti kalau itu terjadi semuanya bakal enak. Perkara sakit hati dan sakit jiwa yang diderita bisa tuntas tanpa menimbulkan cedera dan trauma.

Tapi Pakin hanya bisa mendecih. Ngelantur lagi ini otak.

Sejak pulang dari Arjuna beberapa minggu lalu, pikiran Pakin bisa dibilang tidak sekalut ketika masih di gunung. Ia sebisa mungkin menghindari kehadiran Neo dan Luna. Dua sosok tersebut benar-benar bencana. Mereka tidak ada sungkan-sungkannya melakukan pendekatan secara terang-terangan kepada Pakin. Luna yang hampir tidak pernah menghubunginya, jadi rajin menelepon Pakin pagi dan malam. Bahkan mengajaknya menonton berkali-kali yang selalu Pakin tolak. Neo pun tak ubahnya seperti Luna. Laki-laki itu benar-benar sinting ketika menyodorkan black cardnya, dan berujar, “Gue nggak tahu kebutuhan lo apa selain makan. Beberapa hari ini gue akan sibuk, jadi nggak bisa mengurus lo. Pakai kartu gue untuk keperluan lo apa pun itu. Jangan ragu-ragu untuk menguras isinya. Itu semua punya lo.”

Hahahaha.

Jancok!

Pakin benar-benar ibarat gundik yang tengah dipuaskan oleh orang yang membayarnya.

Kira-kira hidup ini akan terus memerkosa duburnya sampai kapan, sih? Anusnya terasa sudah perih dan berdarah-darah, please, tapi kenapa takdir tidak melunakkan farjinya kepada Pakin? Kenapa?

“Buset, Bang, permainan lo dah kayak orang sinting. Lo ada masalah?” Winny berdiri di samping Pakin setelah kedua kesebelasan saling menjabat tangan sebagai bentuk sportifitas. “Dua kali ngegolin, sih, nggak apa-apa, Bang. Tapi berkali-kali pula lo kena tackle. Gue yang ngelihatnya aja ngeri, anjing. Ini kalau Fourth tahu, dia bisa aja ngehantam temen-temennya sendiri alih-alih membela mereka. Aman, nggak, tuh, kaki?”

Menaikkan alis, lantas berjalan menuju loker penyimpanan, Pakin menggumam, “Lo masih lihat gue hidup, berarti aman, sih, gue rasa.”

“Petra, gas, nggak, nih? Sekalian nemenin Fourth kerja. Emang pantek tuh anak satu. Di saat fakultasnya tanding bola, dia malah harus masuk shift. Jadi kalah kan kita dari tim lu, Bang. Bang Perth dah kayak nggak pernah kuliah di GMM aja. Nggak tahu sekarang jadwalnya POM, masih aja ngeyel nyuruh Fourth kerja.” Satang membuka loker, mengambil handuk dan peralatan mandi.

Pakin terdiam. Keinginan untuk melepas dahaga setelah pertandingan panjang itu sangat kuat menggoyangkan iman. Alkohol dan persetubuhan adalah hal yang konkret ia butuhkan saat ini. Tapi sial, ia lagi miskin. Uang tabungannya bakal kian terkuras kalau ia terus-terusan pakai untuk hal kayak gini. Sewaktu si tolol Neo menyodorkan Black Card, tidak dimungkiri Pakin cukup tergiur. Tapi dia masih terlalu waras untuk tidak membiarkan manusia keparat itu membeli eksistensinya. Jikapun toh nantinya ia sudi menerima ajakan gila dari pasangan kentir itu, Pakin juga tidak akan sudi menerima uluran tangan Neo yang melebihi batas normal.

“Tenang, Bang, all bills on me.” Winny menepuk bahu Pakin. “Lo cukup dateng aja, dan nemenin Fourth kerja. Dia agak uring-uringan belakangan ini entah kenapa. Berkali-kali gue mencoba bertanya, tapi lo tahu bagaimana keras kepalanya adik lo itu, kan?”

Alis Pakin lagi-lagi tertarik ke atas. Karena tidak tahu harus merespons apa, ia cukup mengangguk, dalam hati bersyukur ada orang yang lagi-lagi berwelas kasih kepadanya.

Petra adalah salah satu bar elite yang lokasinya ada di bilangan Jakarta Selatan. Bar ini milik salah satu alumnus GMM yang cukup akrab dengan Pakin. Di awal-awal memasuki kampus, Pakin pernah mengambil part time di sini. Tapi masalah yang selalu mengikutinya ketika dia berada di kepungan alkohol yang menggiurkan, cukup membuatnya ditendang dari balik meja bar. Sebenarnya keahlian Pakin meramu alkohol cukup mengagumkan. Tapi melepaskan Pakin dari pantat masalah tatkala ia berkutat di antara botol-botol bening alkohol yang mencuri iman, adalah hal yang sukar. Perth cukup tahu diri untuk menyelamatkan pundi-pundi uangnya daripada mempertahankan adik tingkat tidak tahu diri itu.

Suara akordion yang khas dan entakan ritme single dance-nya Edward Maya featuring Vika Jigulina yang Stereo Love terdengar ketika ketiga pemuda tersebut mengempaskan bokong di salah satu tempat. Pakin memesan sebotol Vodka kepada Winny tatkala pemuda keturunan Cina itu menawari. Di sana, di balik meja bar, Fourth terlihat sibuk meracik berbagai macam menu ke dalam shaker. Ia dikerubungi beberapa tamu dan kelihatannya tidak sadar Winny datang mendekat.

“Emang apes banget hari ini gue.” Suara Satang menyelusup liang kuping Pakin. Pemuda dua puluh dua tahun di sampingnya menaikkan dagu, meminta penjelasan lebih lanjut. “Seharusnya hari ini jadwal ibu gue dialisis, tapi pangeran keparat yang datangnya kayak jurig itu ngebuat rumah sakit tempat ibu gue kontrol sedikit kerepotan. Jadi, dah, ibu gue mendapat pelayanan sekadarnya. Petugasnya kelimpungan melayani kehadiran keparat itu.”

“Kita masih membicarakan manusia?” Pakin sedikit sanksi. Bar ini memang elegan dan mewah, tapi sialnya, pemilik bar mendesign lingkungannya tidak ramah rokok. Itulah mengapa Pakin jarang berkunjung ke sini. Sekalipun jika ada Perth jatah alkohol Pakin sering aman sebab ia bakal ditraktir habis-habisan, tapi larangan merokok di dalam bar ini benar-benar menyusahkan. Ia dan mulut asamnya jelas tidak bersahabat dengan keadaan. Hanya saja, meminta Winny pindah ke Zodiac pun rasanya sungguhlah kurang ajar. Semua bills tanggung jawab Winny. Ia pun mengajak ke sini untuk menemani salah satu adik tingkatnya yang berparas rupawan itu. Tidak punya unggah-ungguh sama sekali seumpama Pakin melunjak ini itu.

“Lo nggak salah tangkap, Bang,” jawab Satang. Wajahnya terlihat sungguh-sungguh kesal. “Oke, gue akui gue cuma pasien pengguna BPJS, tapi gue berhak mendapatkan pelayanan paripurna, kan? Ya, kali, semua keprofesionalan itu ancur hanya karena seorang pangeran berkunjung.”

“Pangeran? The real pangeran anak dari raja? Siapa?”

“Gue nggak tahu namanya, Bang. Gue dengar, sih, salah satu keturunan raja dari Belgia.”

“Buju buset.” Gelak tawa Pakin pecah. Dia tidak pernah memiliki ekspektasi apa-apa ketika para adik tingkat itu menawarinya kobam. Tapi celetukan Satang kali ini benar-benar membuatnya terpingkal. “Anjeng, Tang, raja Belgia aja untung-untungan tahu ada negara bernama Indonesia. Dan kenapa tiba-tiba anak mereka ada yang keluyuran ke sini, sih? Lo ngaco banget, anjeng. Kebanyakan baca hikayat lo.”

“Tai lo, Bang.” Satang menggeleng-geleng. “Gue serius, anjir. Pas pertama kali gue dapat berita itu dari salah satu keluarga pasien dialisis, respons gue sama banget kayak elu gini, Bang. Tai-tai menjengkelkan. Tapi ketika gue melihat langsung sosoknya pas tadi gue mau ke apotek, air liur gue keluar, anjing. Gila. Gue baru kali ini melihat sosok sempurna ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.”

Kayaknya Pakin tahu kenapa Fourth suka sekali menjahili Satang. Anaknya sangat ekspresif. Jadi menggemaskan saja gitu ketika dia berekspresi.

“Terus-terus?”

“Lo tahu, kan, Bang, bagaimana riwehnya nih negara kalau kedatangan tamu? Dan tadi literally tamu agung itu berkunjung ke rumah sakit swasta tempat gue biasa ngontrolin Mama. Oke, gue akui tuh rumah sakit emang gede dan pelayanannya lengkap, tapi ya Alloh, Bang, ya, kali, gue kebayang bisa bertemu dengan salah satu keturunan raja. Gue kesel, sih, tapi hati gue dangdut banget pas lihat parasnya yang rupawan. Bangsat lah. Iman gue lemah banget kalau ketemu orang-orang tampan. Memalukan memang. Nggak ada harga dirinya gue.”

Tawa Pakin benar-benar tidak terbendung. Ingin sekali dia mencubit sampai pipi gembil Satang memerah.

“Gue jadi bingung, Tang. Ini lo masih dalam konteks kesel karena ibu lo nggak mendapat pelayanan prima, atau lo kesel karena lo ketemu cowok sempurna yang sialnya nggak bisa lo dapetin?”

“Lo bener-bener tai, sih, Bang, kata gue. Oh aja gue mah dengan tingkah laku lo ini. Pengin gue gedik, tapi lawan gue pasti Fourth yang seolah-olah menyembah lo seperti berhala kalau gue KDRT ke elo. Emang anak pantek. Tuhan aja nggak pernah dia sembah. Sementara lo yang biasa-biasa ini bisa dia cium kakinya. Nggak habis pikir gue dengan jalan pikir rakyat Indonesia nowdays.”

Anjing! Nih bocil bisa dibungkus saja, nggak, sih? Gemes banget. Tawa itu masih merdentingan ketika Winny datang dan membawakan semua pesanan mereka. Tanpa basa-basi, Pakin menyambar sebotol Vodka, dan dari moncong botolnya, ia menenggaknya rakus.

“Aman, Bang, aman.” Winny mencoba menjarah botol di tangan Pakin, tapi pemuda berambut keriting itu menepisnya. “Masih jam delapan, anjir, Bang. Malam masih panjang. Jangan kobam dulu. Lo juga belum makan. Nih makan. Gue nggak apa-apa kalau harus mengurus lo, ya. Tapi gue tahu pasti tubuh lo bakal kesakitan kalau nggak makan. Heran banget gue, anjing. Punya tubuh satu apa susahnya buat dijaga, sih? Pantesan adik tingkat lo khawatir banget sama lo. Lo semberono banget.”

Memutar bola mata, sementara tubuhnya mulai menggeliat akibat panas alkohol yang mengucuri darahnya tanpa ampun, Pakin manut. “Bisa diem, nggak, sih, lo? Dah kayak ibu tiri aja.” Ia menggulung spageti menggunakan garpu, lantas memakan karbo yang entah sejak kapan luput dari usus dan lambung. Rasanya memang tidak luar biasa, tapi tubuhnya jelas bersyukur dengan keputusannya ini.

“Gue bakal jadi ibu tiri kejam, sih, kalau lo terus-terusan kayak gini. Terserah lo mau ngecap gue nggak tahu diri yang ngelunjak sama kating, tapi jelas kewarasan lo butuh perhatian lebih.” Winny menggigit sepotong ayam goreng, sementara Satang takzim dengan seporsi ayam taliwangnya. Ditatapnya sahabat itu. Air mukanya yang masih keruh membuat Winny mengerutkan kening. “Lo masih kepikiran pangeran pujaan hati lo itu, Tang?”

“Jujur, ya, gue emang suka melihatnya, tapi gue kecewa setengah mampus sama pelayanan Instalasi Dialisis tadi. Ibu gue kayak nggak ada harga dirinya, njir. Kami memang orang miskin, tapi ayolah, kami juga manusia. Nyawa ibu gue sama berharganya dengan pangeran sialan itu.”

“Serius, pangeran itu benar-benar merusak hari lo?” Pakin bertanya lebih concern. Setiap ia menyuapkan spageti, setelahnya Vodka bakal ia gelontorkan ke batang kerongkongan. Perilakunya benar-benar tidak sehat. Tapi Pakin menyukai respons tubuhnya terhadap kehadiran alkohol. Ketika dia mabuk, dunia keparat ini bakal berbenturan di kepalanya, menggencet bisikan-bisikan iblis di sana, dan yang tersisa hanya gelak tawa membahagiakan. Tawa semu yang ia puja-puja keberadaannya. “Dia siapa, sih?”

“Gue baru saja riset tadi sebab Satang uring-uringan sejak pagi. Dari web yang gue baca, sih, beliau salah satu keturunan raja Belgia dari bini kedua gitu, Bang. Pangeran Andrew atau siapa gitu gue kalau nggak salah ingat. Usianya 50-an, sih. Tapi kesuksesannya membuat reputasi beliau naik drastis melebihi keluarga kerajaan inti. Beliau memiliki showroom mobil sport di berbagai negara. Dan di berita itu, sih, dia dikabarkan memiliki 70% saham di Ferrari, Porsche, sama BMW.”

“Anjing, Win. Cerita lo membelai jiwa miskin gue,” Satang berkomentar yang disetujui Pakin.

“Orang-orang bisa kaya begitu makannya apa, sih?” Kembali Pakin meneguk vodkanya hingga nyaris tandas. Man, kepalanya lengar. Matanya mulai berkunang-kunang. Perutnya sedikit terasa mual, mungkin karena ia hanya makan sedikit saja dari spageti yang dibeli Winny.

Winny benar-benar menggeleng melihat kelakuan katingnya tersebut. Menjauhkan Pakin dengan alkohol adalah PR yang rumit. Berkali-kali ia menahan tangan Pakin supaya tidak keterusan menenggak vodka, tapi manusia itu terlalu keras kepala untuk dia tangani.

“Nggak tau juga, ya, Bang. Dia memang terkenal maniak mobil, apalagi jenis mobil sport. Makanya, dia segila itu menaruh kekayannya di perusahaan-perusahaan mobil papan atas. BA-nya pun nggak main-main kalau kata gue. Bahkan Ronaldo pernah dia kontrak di tahun 2016.”

“Terus kenapa tahu-tahu dia melancong ke Jakarta? Kayak, apa menariknya, sih, Cipinang dan Jatinegara?”

“Gue nggak tahu, sih. Di berita cuma dijelaskan bahwa dia hanya melakukan kunjungan kerja. Tapi yang membuat gue sampai sekarang masih bertanya-tanya, tuh, kenapa rumah sakit tempat ibunya Satang dirawat? Ada apa dengan RS Harapan Kita? Gue sudah mencoba googling sedalam mungkin untuk mencari apakah ada hubungan antara Pangeran Andrew dengan pemilik rumah sakit itu. Tapi nihil. Nggak ada berkas atau dokumen yang menyebutkan ini secara gamblang. Kalau ini ada hubungannya dengan bisnis, sih, gue pikir ada sangkut pautnya sama perusahaan tambang yang dimiliki oleh pemilik rumah sakit itu.”

Meletakkan garpu di tepi piring, Pakin memutuskan untuk kembali menghabiskan Vodkanya. Lalu, setelah menyadari alkohol di botol pertamanya habis, tanpa pikir panjang ia menyambar botol kedua. Kali ini Winny tegas menepis tangan Pakin. Melihat wajahnya yang semerah jambu dersono, dan hidungnya yang mulai berair, sang kakak tingkat keparat ini sudah memasuki siaga II.

“Anjing lo, Win. Singkirin tangan lo!”

“Ini udah terlalu banyak, Bang. Gue takut lo kenapa-kenapa.”

“Ah elah, percaya sama gue. Gue nggak bakal ngapa-ngapain.” Pemuda itu menyentak tangan si anak yang lebih muda, lantas kembali menggelontorkan vodkanya tak tanggung-tanggung. Rasanya yang pahit dan panas kembali mendapat sambutan antusias dari tubuhnya. Pakin cegukan, dan endorfin sekoyong-konyong membanjiri kantung otaknya.

“Pusing banget gue sama penjelasan lo. Dunia kerja orang-orang kaya nggak bisa gue ukur dengan akal pikir gue,” komentarnya pedas, mulai melantur. Ia cegukan lagi. Matanya nyalang menatap ingar bingar lautan manusia di dance floor. Entakan musik EDM menggerung gegap gempita. Ketukannya yang pas, cocok banget digunakan untuk melonjak-lonjak. Dari pandangannya yang mulai timbul tenggelam, ia melihat sosok pemuda mendekati meja bar. Terlihat sedikit familier. Siapa itu? Pakin kembali cegukan, memeluk botol vodka. Ia kayaknya benar-benar sudah mabuk.

Masih ngeri melihat bagaimana liarnya si anak Sastra, dan kekhawatiran yang ditimbulkan apabila ia membuat pemuda itu mabuk semengerikan ini, Winny membalas perkataan Pakin, “Ringkasannya, kalau memang dia mau bekerja sama dalam bisnis tambang, Pangeran Andrew bakal sering mengunjungi rumah sakit tempat Mama mendapat perawatan dialisis, yang semoga saja nggak berimbas dari pelayanan yang mereka berikan.”

“Anjing! Bener juga.”

Pakin tidak lagi mengikuti obrolan di meja makan mereka. Tatapannya terpaku pada punggung yang terbungkus suit hitam. Potongan jas itu terlihat pas, sehingga memeluk tubuh ramping pemiliknya dengan sempurna. Ia terlihat berusaha mengajak Fourth ngobrol. Tapi adik tingkatnya memberikan pertahanan. Mata Pakin sedikit memicing.

“Siapa dia?” tanyanya tanpa bisa dibendung.

Baik Winny maupun Satang mengikuti arah pandang Pakin, dan kedua orang itu serempak menggeleng sebagai jawaban. Fourth terlihat marah dengan kehadiran orang itu, dan dia berusaha mengejar Fourth yang meninggalkan mejar bar.

Saat itulah Satang berseru, “Anjing! Dia dokter bedah yang mengoperasi Mama.”

Oke, ini sedikit mengerikan. Tapi, apa hubungannya dokter spesialis bedah tersebut dengan Fourth? Pakin bangkit dari bangkunya. Tubuhnya sempoyongan. Tangkas, Winny dan Satang mencoba membantu dan memaksa Pakin diam di tempat, tapi pria tersebut memberontak dan mengancam akan membuat huru-hara kalau mereka tidak membiarkan Pakin pergi. Winny menggeleng frustrasi. Kabar yang mengatakan bahwa Pakin berbahaya ketika mabuk bukan isapan jempol ternyata. Sulit sekali mengontrol anak sastra itu ketika alkohol mengendalikan akalnya.

“Gue sudah pernah bilang ke lo, jangan pernah kencingin teritorial gue. Gue anjing posesif. Gue nggak akan membiarkan zona aman gue diganggu oleh kehadiran manusia keparat seperti lo.” Suara Fourth terdengar memantul-mantul dinding toilet yang sepi.

Terhuyung, Pakin mendekat sambil memeluk botol birnya penuh sayang. Fokus matanya benar-benar kampungan. Payah sekali. Ia sempit-sempitkan pupil, berharap mampu menangkap punggung pria yang mengepung Fourth di pojok wastafel. Tapi susah. Kewarasannya benar-benar terapung. Salahkan dirinya sendiri. Seharusnya ia mengikuti perintah Winny yang memintanya untuk kalem sebelum malam runtuh, jadi ia bisa mengandalkan tubuhnya sendiri dalam keadaan-keadaan genting—entah tersebab apa—kayak sekarang. Masalahnya, ia seperti mengenal punggung itu. Tapi siapa? Dan di mana dia bertemu? Kupingnya berdiri tegak, siap untuk menangkap apa pun informasi yang bisa dia dengar di tempat yang tidak terlihat ini.

“Saya hanya tidak ingin kamu kenapa-kenapa. Kamu harus ingat, kalau posisimu di sini hanyalah anak titipan orang tuamu. Jujur saja, Fourth, saya tidak peduli sama sekali dengan keselamatanmu. Tapi jika kamu celaka maka orang tua saya yang akan memberikan ganjaran kepada saya. Saya tidak ingin reputasi saya cidera di hadapan orang tua saya. Saya terlalu waras untuk membiarkan manusia sepertimu merusak apa yang sudah saya bangun selama saya hidup di dunia.”

“Maka jauhkan moncong lo dari hadapan gue. Gue memang dititipkan ke lo sama orang tua gue, tapi bukan berarti gue menggadaikan hidup dan privasi gue pada lo. Dengan lo hadir ke tempat gue kerja, dan menilai rapor gue dengan tinta merah tanpa benar-benar tahu asesmennya aja, itu udah bentuk pelecehan buat gue. Lalu, dengan tingkah lo yang kayak gini, bagaimana gue bisa menjatuhkan hormat dan menuruti perintah lo?”

“Dan kamu masih berpikir kerja di tempat seperti ini merupakan keputusan yang baik? Setelah bulan lalu kamu tumbang di rumah sakit akibat berkelahi di sini? Saya sudah bilang padamu, kan, kamu tanggung jawab saya. Manfaatkan saya semaumu. Porotin saya kalau perlu, tapi yang harus diingat, kamu harus menjaga dirimu! Apakah permintaan saya sangat sulit untuk kamu kabulkan, Fourth? Akan saya berikan dunia jika itu maumu, tapi bisakah kamu diam, tak membuat masalah dan onar, yang akan membuat saya berurusan dengan orang tua saya?”

Bangsat! Ada apa dengan masyakarat? Kenapa banyak sekali orang kaya di sekelilingnya, sementara uang untuk bertahan hidup saja, hampir habis di tabungan Pakin? Ia menggeleng, memutuskan untuk pergi sebelum sebuah pukulan terdengar. Cengkeraman kuat Pakin kencangkan di botol birnya. Dadanya berdegup kesit. Ia tidak tahu siapa memukul siapa, tapi kesiagaannya terjaga. Ia menjulingkan mata, berharap kini saraf-saraf matanya bisa diajak bekerja sama dan mampu menangkap gambaran di hadapan lebih prima.

“Gue nggak butuh duit lo. Gue bisa menghidupi diri gue sendiri. Gue bisa membiayai kebutuhan gue sendiri. Lo sadar, nggak, sih, satu-satunya alasan gue sudi masuk ke rumah lo hanya karena gue nggak ingin mengkhawatirkan orang tua gue? Tapi rupanya lo salah mengartikan maksud gue. Lo nggak memiliki hak untuk menghina pekerjaan gue sekalipun lo memiliki segudang uang. Di mata gue, attitude orang itu adalah tempat gue menilai kehidupan orang. Gue nggak pernah bisa lo beli, uang lo nggak pernah bisa menaklukkan gue. Lo seharusnya sadar, nilai apa yang gue tuang di rapor milik lo.”

“Saya tidak peduli dengan coretan merah yang kamu berikan dalam lembar penilaian saya. Yang saya pedulikan hanyalah martabat saya di hadapan orang tua saya. Saya sudah mewanti-wanti kamu, Fourth. Orang tua saya benar-benar melarang kamu untuk bekerja di club malam. Oke, saya tahu kalau ini dunia kamu, tapi bisa, tidak, setidaknya kamu tahu diri sebagai orang yang numpang di rumah saya? Persetan kamu sudi atau tidak tinggal di rumah saya, pada kenyataannya saat ini status kamu masih saya tampung.”

“Apa yang pernah lo lakukan sampai lo… merasa lo harus bekerja sekeras itu hanya untuk dipandang sama tinggi sama orang tua lo, huh? Dosa apa yang pernah lo perbuat sampai lo harus mendapatkan respek dari orang tua lo?”

Pakin sampai melongok sebab pertanyaan Fourth untuk cowok di hadapannya lama tidak mendapat respons. Ia pikir laki-laki itu pingsan atau apa, tapi dugaan konyol itu terpatahkan ketika tiba-tiba saja laki-laki itu menyerang Fourth. Tangannya mencengkeram lengan yang lebih muda. Fourth berusaha keras melepaskan cangkaman, tapi nihil. Tubuh yang lebih tua jauh lebih tinggi dan besar dibanding Fourth. Adik tingkat itu mendesis, menyumpah serapah, dan melantingkan permintaan tolong.

Pakin kontan kebingungan. Di antara kewarasan yang sebentar tampak, sebentar hilang, dan keadaan yang begitu mepet, tanpa pikir panjang, Pakin menghantamkan botol birnya ke dinding. Suara belingnya yang pecah, lantang menginvasi, menghentikan aksi sang pria berjas hitam. Mereka berdua sontak menoleh ke arah Pakin. Dan pemuda itu berjalan sempoyongan dengan tangan menggenggam botol Vodka yang teracung dengan ujung-ujung pecahan belingnya yang tajam.

“Lepasin adik gue,” suaranya terdengar parau. Ia cegukan lagi. Baik Fourth maupun sang pria terlihat ngeri melihat penampakan Pakin. “Gue nggak peduli lo bisa membeli dunia ini beserta isinya, tapi ketika adik gue nggak memberikan konsen kepada lo, lo harus berdiam di sana. Lo nggak ada hak lagi untuk maju.”

Dari penglihatan mata buramnya, memang sepertinya Pakin pernah menjumpai sosok itu. Tapi alkohol membatasi cakupan kinerja otaknya. Ia memaksa mereka untuk mengeduk memori-memori di tempat ia menyimpan kenangan usangnya pun sia-sia. Ketika jarak Pakin mendekat, Pakin masih tidak tahu pernah bertemu laki-laki tersebut di mana. Siapa, ya?

“Yang harus lo inget… ik… kalau lo ingin dihormati oleh orang tua lo, lo juga harus bisa menghormati diri lo sendiri supaya lo bisa menghormati orang lain. Cara lo memaksa adik gue supaya menuruti perintah lo aja udah menjadi bukti bagaimana lo nggak bisa memandang… ik… tubuh dan kehadiran lo sama besarnya lo memandang orang tua lo. Dan jika dengan tubuh lo aja lo nggak bisa respek, bagaimana lo bisa mengharapkan Fourth menaruh hormat kepada lo, hah?” beling Vodka itu teracung mengancam di tangannya yang tremor parah. Sosok Fourth dan kawannya mengganda di penglihatan Pakin. Perutnya kian terasa teraduk-aduk. Kepalanya pening bukan main. Ia terus mendekat.

Terdengar suara pekik seseorang ketika ada yang hendak memasuki toilet. Pakin tidak peduli. Dia maju beberapa langkah lagi. Tangannya terayun-ayun. Siapa saja bisa terkena tajamnya beling itu.

“Bang….” Suara Fourth terdengar. Pakin masih mencoba mencerna apa yang sedang terjadi padanya, sebelum ia merasakan batang leher belakangnya ditumbuk benda tumpul, lalu pandangannya benar-benar karam.

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang