Bab 18. a

154 15 0
                                    


Seperti ada tsunami manusia di Petra malam ini. Neo dan Pakin baru masuk ke sana, dan lautan manusia yang tengah berjoget heboh, menyambut kehadiran mereka. Dentuman musik Temperature dari Sean Paul menggema di seluruh ruang, bercampur baur dengan suara pekik dan tawa orang-orang di sana. Lampu-lampu berkedap-kedip heboh, membuat dance floor sebentar gelap, sebentar terang. Dengan keriuhan luar biasa ini, Fourth sampai tidak terlihat di balik meja bar.

Neo menyampirkan tangan di pinggang Pakin, membuat tubuh yang lebih kecil merapat ke badannya. "Anak-anak ada di lantai dua. Deket-deket sama gue supaya lo nggak kesenggol-senggol orang!" Suara Neo sedikit kencang di telinga Pakin. Ia menghela Pakin untuk masuk membelah kerumunan. Cengkeraman tangannya kian kuat, sehingga Pakin kian melekat.

Di antara campuran aroma alkohol, parfum orang-orang, bau citrus yang segar dari Calvin Klein yang sangat khas menguar ketika posisi Pakin seintim ini dengan Neo. Ditambah dengan wangi keringatnya akibat seharian beraktifitas, membuat Pakin bersumpah, ia bisa menukarkan dunianya agar bisa bersembahyang di atas tubuh Neo. Mendapati pemikiran cabul itu, Pakin tertawa kecil, menggeleng-geleng tidak habis pikir. Bisa-bisanya di saat berada di ruang seramai ini ia bisa mikir kegiatan olah pertempuran kelamin dengan sang kawan dekat.

Mereka naik tangga ke lantai dua, dan teman-teman Neo bersorak ketika kedua pemuda itu terlihat.

"Zupp, Khao, met ultah ya. Sorry nggak bawa kado, temen lo ngeculik gue mendadak soalnya." Pakin memberi salam kepada sang teruna ulang tahun.

Yang disalami tertawa lebar. "Aman, Kin. Gue nggak butuh kado, cukup kita minum-minum sampai mampus."

"Lo mengundang orang yang tepat berarti."

Mereka tertawa. Pakin mengempaskan bokong di sofa, di sampingnya Neo melakukan hal serupa. Mahasiswa manajemen tersebut langsung memberikan sebotol vodka kepada Pakin, kemudian kembali menyimpan tangan besarnya di pinggang Pakin secara posesif.

"Lo udah makan ayam goreng, jadi nggak apa-apa kalau mau kobam. Sebanyak apa pun gue izinin, nanti gue yang akan urus. Lo tenang saja," kata Neo di dekat telinga Pakin. Tangannya meremas pinggul sang kawan dengan lembut. Pakin mengangguk senang.

Pakin tidak terlalu mengenal baik teman-teman Neo. Di antara sepuluh orang yang berkumpul di sana, mungkin yang biasa nongkrong dengannya hanya Khao, First, sama AJ. Itu pun sekadar teman hang out tanpa benar-benar tahu kepribadian mereka.

"Kin, soal kejadian di lapangan basket waktu itu, gue atas nama fakultas bener-bener minta maaf sama lo. Kekalahan ini murni kesalahan kami yang nggak memaksimalkan persiapan POM, tapi mereka justru menjadikan lo kambing hitam. Gue bahkan udah mencoba menyelesaikan masalah ini menggunakan otoritas gue sebagai ketua BEM fakultas, tapi tai, bullying itu nggak bisa banget dibendung." Itu First, yang selalu baik pada Pakin kalau ia diajak Neo gabung dengan kawan-kawannya. Anak ambis yang menjadikan BEM sebagai rumah kedua setelah lelah menghadapi perkuliahan. "Gue heran dan bertanya-tanya, kenapa seolah-olah materi perisakan lo nggak habis-habis walaupun dari BEM fakultas maupun kampus turun tangan. Ini antara buzzer itu terlalu banyak, atau ada orang berkuasa di belakang mereka, sih. Gue mikirnya gitu."

"Aman, First. Nggak usah lo risaukan. Udah lalu juga. Jangan dipikirin. Udah biasa gue. Hal kayak gini pernah menimpa gue saat teater, dan saat itu pun gelombang kebencian yang menimpa gue nggak bisa dibendung sekalipun Senat dan BEM turun tangan. Ini murni kebencian mereka kepada gue aja, asli. Nggak usah pusing-pusing."

"Neo sampai ngehajar habis-habisan beberapa orang yang ngebully lo tanpa ampun." AJ menimpali. "Gila serem banget liat Neo kesetanan kayak gitu. Dia selama ini terkenal petakilan, tapi waktu marah, rasa-rasanya raja iblis bisa sungkem di kakinya."

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang