Bab 10

410 22 1
                                    


"Simpan alasan lo, Fourth. Semakin lo memberi gue banyak cerita, semakin lo terdengar membela diri. Gue nggak peduli lo secinta mati itu sama kakak tingkat lo, yang gue pedulikan hanya kondisi teman gue saat ini."

....

"Persetan! Dengerin gue, ya, Fourth. Lo tahu betapa gilanya gue menjaga anak sialan itu supaya nggak mencelakakan dirinya sendiri. Gue berkali-kali sampai harus bertengkar dengannya hanya karena dia nggak setuju dengan pola perlindungan gue. Gue pun sadar lo sama nggak sukanya dengan sifat gue, tapi ini semua gue lakukan demi dia. Lo lihat, kan, malam ini apa yang terjadi padanya kalau dia lepas dari pandangan gue?"

....

"Berhenti ngeyel, Fourth. Jauhkan moncong cowok lo dari Pakin. Lo belum pernah benar-benar melihat gue marah. Dan gue harap lo nggak sampai melihatnya. Gue emang selama ini lunak terhadap Pakin, tapi jangan harap gue melunak pada anjing-anjing keparat yang mencederai temen gue. Gue bisa merusak siapa pun dengan kedua tangan gue, Fourth. Dan gue nggak ingin lo menjadi salah satunya."

....

"Winny? Ini gue Neo. Sorry kalau kali pertama gue nelepon lo dalam keadaan kayak gini. Gue nggak mau panjang-panjangin masalah. Sekarang mau lo apa, deh? Coba lo bilang ke gue. Gue lihat waktu di Arjuno kemarin lo seperti orang baik-baik, ya? Lebih dewasa di antara kedua temen lo. Tapi bangsat juga lo ternyata. Lo siapa sampai ngebiarain Pakin celaka kayak gini?"

....

"Gue emang bisa mengobati Pakin ke rumah sakit sebagai upaya mencari jalan keluar dari masalah yang menimpanya. Tapi gue butuh orang yang bertanggung jawab atas musibah yang mengadangnya. Lo sebagai adik-adikannya Pakin pasti paham banget bagaimana kalakuan kating lo yang bakal bablas kalau lagi kobam. Kenapa lo biarin aja, huh? Jangan diem aja dong. Jawab gue. Lo bisa membahayakan Pakin, kenapa sekarang lo jadi cowok pengecut ketika gue meminta pertanggungjawaban?"

....

"Anjing! Lo pikir gue nggak punya cukup duit untuk membiayai pengobatan Pakin? Nggak nyangka, sih, orang seperti lo yang kelihatannya mengidolakan Pakin bisa memiliki pemikiran sepicik ini. Sakit hati banget gue Pakin lo perlakukan seperti itu. Lo dengar, ya, Win, ini kali terakhir lo mengajak Pakin keluar tanpa sepengetahuan dan izin gue. Kalau sampai gue dengar lo membuat Pakin mendapatkan masalah lagi, gue yang akan menjadi lawan lo. Gue nggak peduli lo memiliki kuasa yang membuat lo kebal hukum. Tapi jika itu berurusan dengan Pakin, gue yang bakal menyeret lo ke neraka sekalipun penjara jadi ganjaran gue! Gue nggak pernah main-main dengan ucapan gue. Inget-inget itu!"

"Nyooo...."

Suara parau Pakin membuat Neo menoleh. Ia menutup telepon, lalu menghampiri bed tempat Pakin berbaring.

"Mau minum?"

Pakin mengangguk. Neo mengambil segelas air yang sudah ia siapkan di atas meja pasien. Setelah membantu Pakin bersandar di bahunya yang pagan, Neo mendekatkan moncong pipet ke mulut Pakin. Pemuda tersebut menyedotnya menggunakan sisa tenaga. Begitu gelas ia letakkan kembali ke tempat semula, Neo membetulkan posisi duduknya supaya Pakin terasa nyaman. Pasien manja itu merebahkan kepala di pundak Neo, dan sang kawan dengan telaten menggusap-usap bahunya yang terasa masih lemah.

"Masih pusing, hm?"

Pakin menggumam tidak jelas, semakin mendusel leher Neo guna mendapatkan damai. Nyaman sekali. Hangat tubuh Neo yang membungkus tubuhnya menulari sebongkah hatinya yang membeku. Ditambah usapan-usapan lembut tangan lebar Neo di pundak dan bahunya, rasanya ibarat usikan daun sengon di pinggir Kali Brantas pukul dua belas siang. Hangat dan teduh. Pakin bisa tidur dalam jangka waktu panjang tanpa merisaukan bisikan-bisikan keparat di kepalanya; satu-satunya hal yang selama setahun ke belakang merupakan kemustahilan.

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang