Bab 7

443 28 2
                                    

Tawaran yang diberikan Luna bener-bener gila, nggak, sih?

Tapi lebih gilanya lagi, Neo menyetujui tawaran Luna.

Lo bisa menikmati tubuh—seperti kata Luna—telanjang Neo secara nyata, Kin. Tubuh polos itu nggak lagi ada dalam pikiran lo, tapi bisa disentuh, diraba, dicium!

Sinting, nggak, tuh? Tangan lo digenggam saja, lo bisa jumpalitan saking deg-degannya jantung lo. Ini lo, literally, bisa mencium bibirnya yang selalu menjadi pujaan lo. Melumat mulutnya dengan rakus sebagaimana malam-malam binal lo ketika sange. Dan menggenggam kelaminnya—yang mana, merupakan hal—yang begitu lo cita-citakan dalam hidup.

Anjeng!

Hahahahah... parah banget anjeng!

Lo disodori tubuh polos Neo di atas sebuah nampan. Yang perlu lo lakukan hanya menjadi teman bicara Luna yang asyik karena lo seniman mandul, pengetahuan lo luas, imajinasi lo jelas-jelaslah liar, sudut pandang lo mampu berotasi 360 derajat.

Man, kacau, sih, ini. Kacau gue kata!

Persetan dengan perasaan lo, asalkan lo mendapatkan buah seranum zakar Neo. Lo terlalu naif kalau menolaknya hanya dengan alasan kemanusiaan.

Bangsat!

Kan gue bilang juga apa pada Satang kemarin? Sejak dulu, nggak, sih, lo nggak pernah dipandang manusia? Sejak laki-laki keparat yang menyebut dirinya bapak itu tahu-tahu minggat dari diri lo ketika nyokap lo hamil di usia tua. Sejak orang tua nyokap lo mengusir anaknya tersebab malu memiliki keturunan hamil di luar nikah. Sejak ibu lo menjadi perempuan gila kerja karena rasa sakitnya yang teramat-tamat pada kehidupan ini, dan lo ditelantarkan di sepetak kos-kosan yang induk semangnya sering banget ngamuk kayak banteng kalau ibu lo nggak bayar-bayar uang bulanan.

Lo nggak pernah benar-benar jadi manusia selama hidup di dunia ini, Pakin.

Lo nggak pernah benar-benar menjadi sosok yang kehadirannya mampu dipandang secara sejajar. Berdiri sama tinggi, duduk pun sama rendah.

Dunia sudah membentuk gap itu sendiri, dan bagaimana lo mengharapkan laki-laki yang baru datang selama enam tahun dalam hidup lo, sanggup memanusiakan lo sebagaimana lo yang nggak pernah luput ketika menunjukkan respek lo kepada orang lain?

Jangan bodoh, Pakin!

Lo bukan manusia!

Eksistensi lo tak ubahnya seonggok tai yang seharusnya di-flush­ketika bentuk jabang lo dalam rahim Nyokap terlihat.

Lo seharusnya mati, Kin, karena sampah kayak lo nggak pernah memiliki tempat dan kedudukan di dunia ini.

Lo mengharapkan apa? Cinta? Tai lah. Goblok banget, Pakin. Goblok banget lo. Lo dari lahir aja nggak pernah diajari dan dikenalkan dengan sabda apa itu cinta, lalu dapat keberanian dari mana lo mendambakan cinta dari sosok sesempurna Neo?

Lo seharusnya bersyukur Neo datang dalam kehidupan lo yang meranggas dan mengenaskan ini. Lo seharusnya banyak-banyak berterima kasih ketika para bandit-bandit di bangku sekolah menengah itu datang merisak, dan kehadiran Neo menjadi tameng yang mengadang semua ujaran kebencian itu. Lo seharusnya tahu diri, ketika semua wali murid meminta lo dikeluarkan dari sekolah sebab lo homo dan mereka nggak ingin penyakit lo menulari anak-anaknya, tapi lagi-lagi Neo datang beserta orang tuanya yang memiliki jabatan tinggi di pemerintah, memberikan payung hukum kepada lo.

Lo sudah diberi hati sama Neo, jangan sekali-kali lo berani bermimpi mendapatkan jantungnya.

Hidup lo selama ini adalah wujud dari belas kasihan orang-orang lain semata. Makanya, ngaca, Pakin! Ngaca!

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang