Bab 23

113 7 0
                                    

Neo Trai Nimtawat berdiri menakutkan di lobi ketika Pakin turun pukul dua dini hari. Wajahnya terlihat menyeramkan, matanya menyalak tajam, bibirnya terlipat segaris saking hebatnya emosi yang ia pendam. Pakin menelan ludah. Mungkin memang sudah saatnya bagi ia untuk berkomunikasi dengan Neo setelah menghindari kawannya hampir seminggu ini. Pakin sangat paham apa yang bakal terjadi padanya. Kemarahan Neo kemarin yang belum tuntas, lalu pesta seks yang ia ikuti, pasti subuh ini akan ia habiskan dengan penuh perjuangan.

"Sudah makan?" tanya Neo ketika Pakin sampai di hadapannya.

"Belum."

"KFC mau? Atau nasi goreng deket kampus?"

"KFC ajalah. Jauh kalau harus muter ke kampus."

Neo mengangguk, lantas memimpin Pakin menuju parking area dan meluncur mencari KFC terdekat. Selama di dalam mobil, Pakin terdiam. Matanya menelanjangi jalanan Ibukota yang lengang. Usikan AC yang sejuk membelai lembut kulitnya. Musik melantunkan suara Panji Sakti. Dan Neo tidak ada tanda-tanda ingin mengajaknya berbicara. Pakin sendiri bingung harus membawa topik obrolan apa. Sangat mustahil ia melemparkan fakta yang ia dapat dari Moving to Heaven tentang keanggotan orang tuanya dan bagaimana mereka mereguk kemenangan selama ini, dan bagaimana kesetiaan mereka kepada Force dan Book yang membuat Moving to Heaven bisa berdiri kukuh sampai sekarang. Selain kebencian tanpa dasarnya kepada Force, Neo juga sepertinya dalam mode tidak ingin menyenggol kepentingan orang tuanya.

Setelah mendapatkan pesanan melalui drive thru Neo mencari tempat parkir agar bisa menyantap makan subuh mereka. Masih tidak ada obrolan yang bergulir, menjadikan aura di mobil bahkan Pakin jamin lebih dingin dari titik beku Puncak Dieng ketika musim kemarau. Ia menyantap ayam gorengnya dalam diam, sementara pikirannya berkelana entah ke mana.

"Lo sakit?" Pertanyaan Neo yang tiba-tiba mengembalikan kesadaran Pakin. Pria berambut keriting itu tergeragap, nyaris tersedak. Neo menggeleng lalu membukakan botol air mineral untuk Pakin yang langsung kawannya gasak. Neo mengambil tisu di atas dasbor dan menyeka lelehan air di sudut bibir Pakin.

Pakin menatapnya, keinginan hati mengutarakan tentang kiprah orang tuanya di dunia politik itu sungguh menebal di lidah. "Nggak. Gue nggak sakit. Kenapa lo berpikiran seperti itu?"

"Lo nggak masuk kampus selama beberapa hari terakhir. Gue nanya temen-temen lo, mereka juga nggak tahu keberadaan lo. Ini kalau gue nggak maksa Drake buat ngasih tahu ke mana lo pergi sebab teman-teman lo nggak ada yang tahu menahu keberadaan lo, gue juga nggak akan tahu posisi lo. Dan bukannya jatah bolos lo udah lo ambil semua, ya?"

Pakin mendengus kecil. Memang selama ia berantem dengan Neo, Drake-lah pilihan satu-satunya tempat ia menenangkan diri. Walaupun kemungkinan Drake tidak bisa menutup mulut kalau Neo berbuat anarki, setidaknya sebelum menemui Drake, pasti Neo menghabiskan waktunya mencari Pakin ke tempat teman-temannya. Drake memang bukan teman yang menyenangkan, tapi setidaknya Drake memberinya rasa aman. Ia bahkan tidak bertanya sepatah pun ketika Pakin mengetuk pintu apartemennya untuk menginap.

"Gue aman, kok. Cuma butuh ruang buat menenangkan diri."

"Apakah sekarang lo sudah merasa tenang buat cerita semuanya ke gue? Lo nggak tahu betapa gilanya gue ketika lo nggak membalas semua pesan gue, sementara teman-teman lo pun nggak memiliki ide sama sekali tentang keberadaan lo. Fourth bahkan nemenin gue nyariin lo sewaktu gue mendatanginya di Petra."

Decihan Pakin kian terdengar kuat. Mendengar nama Fourth disebut, insiden beberapa hari lalu kembali terapung-apung di dasar kepalanya. Dan komplotan yang sangat berjasa demi keselamatannya itu masih saja mengelak memberi tahunya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Menjadi manusia miskin memang tidak mengenakkan. Perasaanmu bahkan tidak pernah ditakar ada, dan harga dirimu hanyalah seharga pelepah pisang.

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang