Bab 16

304 19 0
                                    

Perempuan Pukul Empat Pagi itu dihidangkan di atas meja kerja Ohm. Ia telanjang, dan banyak luka yang mencongkeli tubuh ringkihnya. Pakin memalingkan wajah, mengembuskan asap rokok. Ia sudah muak dengan naskahnya itu. Bahkan sekarang ia mulai mengikuti saran Neo untuk menggarap cerita baru—yang sampai detik ini belum ia gerayangi sedikit pun. Rasa-rasanya membaca deret kalimat yang tersusun di tubuh Perempuan Pukul Empat Pagi membuat perutnya mual. Asam lambungnya seakan-akan jempalitan. Koreksi yang dibubuhkan dengan tinta merah dari Mas Force sejak laki-laki itu mengirimi revisian terakhir, belum Pakin indahkan sama sekali. Ia tidak memiliki tenaga, jujur saja. Dan rasa-rasanya isi perut Pakin bisa termuntahkan semua kalau ia memaksa untuk membenarkan perempuan sialan itu.

"Percaya nggak percaya, aku ngirim naskahmu yang belum kamu revisi ini ke Jawa Pos dengan nama pena yang benar-benar baru, jadi mereka nggak akan tahu kalau yang ngirim itu aku, dan judul yang kuubah isinya."

"Sinting!"

"Yeah, karena aku pun penasaran mampus kenapa dia nggak diterima padahal dari segi tema, penceritaan, diksi yang kamu pake masuk banget untuk kualifikasi Jawa Pos."

"Dan hasilnya?"

Ohm membuka ponselnya, mengutak-atik sesuatu di sana, lantas menyodorkan benda pipih tersebut kepada Pakin. Tak ayal Pakin membeliak, kemudian menggeleng tidak percaya. Diembuskannya lagi rokok di jepitan ruas jarinya, sambil mengembalikan ponsel Ohm.

"Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku yakin pasti ada yang nggak beres di sini."

"Jadi itu naskah mau diterbitkan?"

"Aku japri editornya untuk menarik naskah tersebut karena aku ingin mencari tahu kenapa ketika kamu yang mengirimkannya, kamu ditolak mentah-mentah."

"Apakah ini ada hubungannya dengan Mas Force? Dia yang menjadi pembimbingku selama aku terjun ke dunia seni cerpen."

"Aku nggak tahu, tapi jikapun itu benar, apa yang membuat Force sepertinya menahan kesuksesanmu?"

Pria berambut keriwil itu mendengus. "Sukses apaan, sih, Ohm? Kalau sukses kenapa nggak pernah ada satu pun naskah gue yang lolos untuk ditayangkan? Gue emang butuh duit, tapi persetan dengan honor yang didapat dari setiap terbitnya cerpen, gue hanya ingin nama gue mejeng di halaman koran."

"Kamu terlalu mengerdilkan dirimu sendiri."

"Karena kenyataannya seperti itu?"

"Para penadah itu memarodikan pelik menjadi asyik, menyendawakan larat menjadi pikat, menjahit tangis menjadi tiris, menyuratkan kelam menjadi tawan, mengaduhkan pekik menjadi apik, yang semuanya berhiliran seperti Jatayu menguntit Rahwana saat menculik Sita, lalu bermuara pada suatu gumpalan daging yang butuh diisi, yang kadang menjerit minta diludahi, yang kadang bernestapa di balik sekaratnya tangsi."

Pakin mengorek kuping, memutar bola mata malas. Kalimat tersebut sudah berkumpar di kepalanya sampai menjadi kusut. Mau dia dedah sebagaimana pun rasa-rasanya tetap saja berakhir sama; tong sampah. Ia udah mencoba membongkar pasang parafrasanya, mencari diksi yang sedekat mungkin mampu menggambarkan ironi, melucuti frasa, memberedel konjungsi, sampai menyelami makna yang ingin ia tampilkan, menelaah kembali latar belakang dan tujuan yang ingin ia suarakan, tapi tetap saja. Hasil itu semua adalah kosong. Nol besar. Sampahnya kali ini memang sudah sepatutnya ia ceburkan bersama sampah-sampah lain di Ciliwung—tidak bisa diselamatkan. Ia harus segara bangkit atau akan menjadi semakin sekarat ketika ujung-ujung penanya mengering.

"Kasih tunjuk padaku, kalau dia bukan orang sinting, bagaimana dia bisa menciptakan kalimat seedan ini? Apa yang dikatakan Nanon tentangmu itu benar, Kin. Kamu gila, nggak waras, kentir, dan kegilaan itu melahirkan jabang-jabang keberanian yang nggak satu dua orang mampu miliki. Batas tertinggi seniman adalah ketika ia dibungkam oleh kekuasaan, sebab itu berarti suaranya telah menggemparkan titik-titik anjing yang selama ini mereka genggam."

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang