Bab 11

459 28 1
                                    

"Bangsat!" Pakin mengumpat sepenuh hati. Dengan rasa kesal yang menonjok tulang rusuk, ia melempar ponsel. Benda tersebut langsung terpental di atas kasur. Ia berkacak pinggang, berjalan mondar-mandir sambil menggigit kuku. Ingin rasanya ia berteriak lantang, mengacak-acak keadaan kasur, dan menggugat takdir Tuhan. Tapi Pakin sadar, sekuat apa pun ia protes, tidak ada yang benar-benar mampu mengubah takdirnya. Tuhan tetap berada di tempat yang tidak terusik, bahkan mungkin sambil tersenyum kesenangan melihatnya uring-uringan, ditemani para malaikat yang enggan mengubah hasil akhir. Takdir itu tetap berliku, terjal dan curam, dan jalan buntu terus mengadang di hadapan. Bagaimana pun dia mengulang langkah, memperbaiki cara berpikir, mencoba menggunakan sudut pandang lain, hasilnya tetap sama. Jalan buntu. Bajingan! Pakin benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana.

"Kenapa?" Neo keluar dari kamar mandi dengan hanya berlilitkan handuk di pinggul. Pahatan dada telanjangnya yang selalu mampu menarik perhatian Pakin, hanya dipandang sekilas sama si Ikal. Pemuda itu terus berjalan mondar-mandir dengan pikiran tidak tenang.

Neo menghampiri lemari, mengambil kaus kutang berwarna putih, mengenakannya sambil terus menatap sang sahabat. Dari tumpukan lipatan baju yang rapi ia susun, Neo menarik kaus jersey basketnya. Hari ini jadwal fakultasnya melawan anak FISIP. Sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari mereka. Apalagi sejak ia bergabung di tim basket kampus, FEB tidak pernah memiliki sejarah untuk takluk di bawah kaki mereka. Hanya saja kali ini situasinya berbeda. Sejak malam ia merusak percumbuan panas Drake dan Pakin, Neo tidak pernah lagi bisa menatap Drake tanpa membawa tumpukan emosi. Mata laki-laki itu selalu mampu mengundang perkelahian. Apalagi ketika Drake sepertinya paham bahwa Pakin adalah kelemahan Neo, pria sialan itu selalu sanggup memancing emosi Neo. Ia berkali-kali hampir adu hantam setiap berjumpa dengan Drake. Dan pemuda bajingan itu akan menghadiahi emosinya dengan tawa meremehkan. Neo takut kali ini pun ia bisa kelepasan saat menjumpai Drake di lapangan.

Itu bisa berakibat buruk. Ia tidak peduli dengan keselamatannya. Ia hanya tidak ingin, kesusahannya mengelola emosi, merugikan teman-teman sefakultas. Sama seperti tahun-taun lalu, mereka pasti mengharapkan Neo membawa kembali trofi POM tahun ini. Dan ia jelas akan menjadi tersangka utama jika ia sampai kelepasan yang mengakibatkan kalahnya tim basket FEB.

"Ada sesuatu yang ingin lo katakan? Setidaknya, gue masih ada di sini jadi gue bisa dengerin." Neo melepas handuk, dan mengenakan celana training panjang. Ia bercermin, dan bayang wajah Pakin yang masih terlihat gundah, terpantul di sana. "Kin...." Neo menoleh ke belakang.

"Gue kayaknya emang setolol itu, deh, Nyo." Gumaman itu terdengar penuh keraguan. Pakin menatap Neo dengan bibir bergetar. "Lo pernah, nggak, sih, merasa bahwa lo ternyata salah jurusan selama ini?"

Neo menggeleng, menghampiri si kecil, lantas menarik jempol Pakin yang terus ia gigit. Si kawan lama terlihat mirip anak anjing kelaparan di dekat parit. Ou, kondisi Pakin dengan ketidakberdayaannya adalah pemandangan yang tidak pernah Neo suka. Ia lebih menyukai Pakin dengan ledakan emosinya. Sebab ketika Pakin melantangkan suara, pemuda itu seolah-olah dibanjiri energi. Sementara Pakin dengan keadaan lesu seperti saat ini, tanpa daya dan semangat, membuatnya terlihat terpuruk. Itu mampu menyedot energinya pula.

"Gue mencoba semaksimal mungkin mengejar ketertinggalan gue. Walaupun hasilnya nggak sesuai dengan harapan gue, setidaknya progres gue membaik. Gue udah berusaha mati-matian, melakukan berbagai macam cara, tapi tetap aja gue tolol. Emang goblok aja sih dari pabrikannya. Anjing lah. Gue benci banget sama hidup gue."

"Apa yang mendasari lo berpikiran bahwa lo tolol padahal IP lo semester kemarin 3.5? Mencapai IP segitu di jurusan seenggak pasti Sastra Indonesia, di kampus sehebat GMM, emang lo tolol sih kalau lo menganggap diri lo tolol."

"Tapi cerpen gue ditolak lagi." Mata Pakin bergetar.

Oh, perkara itu.

"Sejak dua tahun ke belakang, anjing, Nyo,ada kali tujuh puluh cerpen gue buat, tapi nggak ada satu pun dari mereka yang tembus koran. Tai, lah. Gue nggak tahu lagi apa kriteria yang koran-koran itu tetapkan supaya mereka mau menayangkan cerpen gue. Apa mereka maunya cerpen gue diketik pakai tinta emas hasil tambang dari Freeport? Ngentot emang. Pengin banget gue beli tuh perusahaan-perusahaan koran agar cerpen gue bisa mejeng di semua halaman setiap harinya. Kek... apa susahnya sih ngasih satu saja halaman untuk nayangin cerpen gue?"

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang