Bab 12

385 23 1
                                    

"Pakin!"

Suara pekik perempuan terdengar membelah keramaian di tribun penonton ketika Pakin berjalan mencari tempat duduk. Pakin melongok mencari keberadaan si empu suara. Perempuan ayu dengan senyum kelewat lebar melambaikan tangannya antusias. Alis Pakin tertarik ke atas. Itu Luna, mengenakan jersey tim basket FEB dengan nomor punggung 15—nomor punggung Neo. Pakin menyambut lambaian tangan Luna, dan berjalan mendekat. Sebenarnya yang membuat Pakin sedikit tertegun sama kehadiran Luna bukan sosoknya itu sendiri—justru merupakan suatu kemustahilan jika di pertandingan kekasihnya, Luna tidak hadir—melainkan tempat di mana Luna memilih duduk. Lokasi itu bukan di tribun VIP di mana para penonton bisa melihat penampilan para pemain dengan leluasa, melainkan di tribun paling belakang, paling jauh dari pusat lapangan—kursi yang selalu Pakin duduki ketika ia menemani Neo bertanding.

Di setiap pertandingan Neo yang Pakin ikuti, Pakin memang tidak pernah mengambil tempat paling strategis yang membuatnya bisa melihat penampilan Neo dengan jelas. Karena ketika Neo turun lapangan, percayalah, tempat-tempat strategis itu selalu penuh dengan penonton, riuh dengan teriakan-teriakan memuja, gempar dengan seru-seruan mengidolakan. Sebagai mantan atlet, semangat para penonton ibarat dukungan orang penting yang membersamaimu di lapangan, yang akan membuatmu mampu memberikan tenaga semaksimal mungkin untuk mendatangkan kemenangan. Tapi sebagai seorang kawan, terlebih yang menyekam segumpal cinta untuk salah satu pemain, tempat yang lengang, agak menyendiri, sedikit sepi, adalah tujuan Pakin. Di sana, kendati ia kesulitan memampatkan fokus, tapi bisikan dukungannya kepada Neo terdengar begitu lantang. Dan apabila matanya bisa menembak postur tubuh Neo, kisik kekaguman itu hanya menjadi miliknya seorang.

"Tumben milih tempat di sini? Biasanya di depan?" Pakin mendaratkan bokong.

Luna tersenyum, menyenggol bahu Pakin malu-malu. "Tahu-tahuan banget lo sama kebiasan gue."

"Pita rambut lo yang kadang lo pake, kebetulan selalu gue lihat, sih, kalau lagi nemenin Neo main."

"Semencolok itu?"

"Nggak juga menurut gue, tapi itu pita merepresentasikan lo banget masalahnya. Warna-warna kuat dengan polkadot putih. Entah merah, hitam, biru."

"Lo cukup detail merhatiin gue selama ini rupanya."

"Lo cukup sering melompat-lompat kegirangan ketika Neo bisa memasukkan bola ke ring."

Lalu mereka tertawa. Luna memberikan sebotol air mineral dingin kepada Pakin, yang pemuda berambut ikal itu tenggak dalam beberapa teguk. Permainan belum dimulai. Kedua tim terlihat sedang melakukan pemanasan. Dalam keadaan seperti ini, Pakin bisa melihat Neo dengan jelas—mendrible bola dan berlatih melakukan beberapa tembakan. Yang itu artinya, ia sama jelasnya melihat Drake dengan nomor punggung dua puluh satu yang juga terlihat tekun memainkan bola.

Pertemuannya dengan Drake di Petra malam itu sama sekali tidak Pakin sangka. Sebelumnya memang pernah ia mendengar desas-desus bahwa Drake adalah bendera hitam. Segala sesuatu yang melekat padanya selalu berakhir kontroversial. Ia yang seorang gigolo, ia yang suka melakukan blackmail, ia yang suka membuat video porno, ia yang suka melecehkan bahkan memerkosa. Ibarat kata, jika Drake adalah kesalahan, maka ia sekarang sudah selayaknya mendekam di balik bilik jeruji dengan vonis puluhan tahun. Hanya saja, Pakin tidak pernah benar-benar melihat secara langsung kelakuan Drake. Bahkan bukti yang mendukung semua kabar itu pun tidak pernah ia dapatkan. Jadi sewaktu pemuda bermata tajam itu menghampirinya di meja bar ketika ia tengah ngobrol dengan Fourth, Pakin menyambutnya dengan tangan terbuka.

"I know you," katanya malam itu yang membuat Pakin yang di ambang ambruk seketika menarik alis ke atas. Ia melirik Fourth. Adik tingkat yang lebih pendek darinya itu hanya memberikan kedikan kedua bahu sebagai jawaban ia pun tidak tahu apa maksud kalimat Drake.

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang