Bab 13

270 20 0
                                    

Kejadiannya berlalu begitu cepat, bahkan secepat Pakin berkedip. Peluit tanda berlangsungnya pertandingan kedua baru saja berbunyi sepuluh menit lalu saat dari pinggir lapangan, sebuah perkelahian pecah. Pakin tidak tahu siapa memukul siapa sampai rambatan bunyi dari tribun depan meresonansikan nama Neo dan Drake dengan nada mencekam. Tanpa pikir panjang, mengabaikan keberadaan Luna, Pakin melompat, nyaris terbang untuk memasuki lapangan.

Jantungnya bertalu hebat. Ketakutan itu seperti mendidihkan darah Pakin. Berkali-kali ia menyenggol orang-orang, yang mendapat hadiah maki-makian, tapi Pakin tidak peduli. Kondisi Neo saat ini adalah tujuannya. Ia memasuki lorong yang menghubungkan ruang loker dengan lapangan. Cahaya dari lampu stadion tidak pernah membuat Pakin sepanik ini. Kegaduhan suporter tidak pernah membuat Pakin setakut ini. Dan ketika ia telah sampai di bibir lapangan, pemandangan yang tersuguh adalah kiamat yang tidak pernah Pakin harapkan akan datang di pekan olahraga mahasiswa, di minggu-minggu di mana sportifitas seharusnya dibumbungkan tinggi memenuhi udara GMM.

Neo terlihat tertatih-tatih berjalan dirangkul kawan setimnya mendekati pintu masuk. Darah meleleh bercampur keringat di pelipis dan ujung bibirnya. Tulang hidungnya seperti bengkok. Memar menghiasi pipinya. Ia sedikit pincang. Kondisinya benar-benar tidak bisa Pakin deskripsikan. Rambut Neo yang biasa sehat itu lepek akibat keringat, dan helaiannya mencuat di sana-sini—jelas Drake pasti keras menghantam kepalanya. Jerseynya terpantau robek di bagian pundak kiri. Bercak merah darah mengotori sepatu olahraganya. Suara maki-makian dari penonton membuat keadaan semakin simpang siur. Ketidaktahuan mereka tentang apa yang sebenarnya terjadi kian mericuhkan kondisi.

Neo mengangkat kepala ketika ia diajak ngobrol sama salah satu kawan, lantas menatap mata Pakin yang berdiri di ambang pintu masuk. Dan tidak bisa dimungkiri, hati Pakin sakit melihat sang sahabat dalam kodisi demikian.Tanpa pikir panjang, ia berjalan mendekat untuk menyongsong tubuhnya. Pakin menggantikan satu teman Neo memapah sang kawan, sampai suara Drake yang tidak pernah bisa ia gusur dari kepala sejak malam mengerikan itu, terdengar melengking.

"Kalau lo nggak pernah bisa memperlakukan Pakin secara layak sebagaimana lo memperlakukam Luna, beri dia ke gue! Gue sangat bisa menjaganya lebih dari apa yang telah lo lakukan selama ini! Gue tahu Pakin sahabat lo, tapi memosisikan Pakin sebagaimana lo memosisikan gue dalam hubungan lo dan Luna, itu sebuah kejahatan! Pakin nggak layak diperlakukan seanjing itu!"

Jujur, Pakin sama sekali tidak paham ke mana koordinat dengkingan-dengkingan Drake. Pakin terdiam, begitupun Neo dan kawan-kawannya. Menggeleng untuk tidak menghiraukan jeritan itu, Pakin menghela Neo keluar dari lapangan. Di hadapannya terlihat Luna berdiri dengan bibir bergetar. Air mata tampak mengambang di kelopak matanya.

"Lo boleh menjadi manusia bangsat, Neo! Tapi lo nggak tahu apa-apa tentang Pakin! Nggak tahu siapa Bunda sebenarnya! Nggak tahu latar belakangnya! Pakin terlalu baik untuk perlakukan seanjing itu!"

Ini sudah keterlaluan. Pakin menatap tajam mata Luna yang menggeleng sebagai isyarat agar Pakin tidak termakan emosi. Langkah kakinya pun ia hentikan. Neo memanggil namanya pelan, yang Pakin abaikan. Fokusnya hancur seketika. Apalagi ditambah senyap yang tiba-tiba membebat seisi stadion, bahkan Pakin seolah mampu mendengar genderang jantungnya yang bertalu-talu kencang, rasa muak itu benar-benar menggelapkan mata. Ia sudah memeringati Drake. Ia sudah memberinya batasan! Dan kenapa laki-laki sialan itu justru melontarkannya di depan puluhan orang?

"Kin."

Tidak mengacuhkan eksistensi Neo, Pakin melepas rangkulan tangannya di tubuh sang kawan, berbalik ke belakang, lalu berjalan serampangan menyenggol beberapa pemain basket dari FEB. Matanya mendelik menakutkan. Emosi itu secara integral berkumpul di kedua kepalan tangan. Tidak pernah ia memiliki angkara sekeji ini. Tidak pernah ia memiliki niat menghancurkan orang segendeng ini. Bahkan rasa-rasanya jika perbuatannya berujung penjara, lebih baik Pakin mendekam puluhan tahun daripada membiarkan hidupnya diludahi serupa sampah.

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang