Bab 30

306 19 3
                                    


Neo benar-benar menepati semua janjinya. Ikrar-ikrar yang selalu Pakin respons dengan putaran bola mata kesal, yang kadang berujung decihan tidak mau ambil pusing. Ia pikir kaul itu hanyalah bualan Neo semata. Semacam kelakar yang eksistensinya untuk mempertegas keposesifannya pada Pakin. Tapi siapa yang mengira, setelah ribuan kilometer dia terbang ke Belgia, pergi ke pelosok kota sekecil Genval, Neo tetap bisa menemukannya, dengan senyum yang memperlihatkan lesung pipit tipis, dan tatapan lembut yang menggetarkan tulang dada. Pakin terkesiap sejenak, kemudian kembali menelan cola dengan beringas yang seketika membakar kerongkongan dan membuat saluran hidungnya terasa pedih. Ia mengedarkan pandang. Tidak ada Andrew di sekitar mereka. Kening Pakin mengernyit. Neo membuat kesepakatankah sama Andrew? Sejak kapan? Kenapa terdengar begitu akrab sekali sepertinya mereka berdua?

"Gue mau menceritakan kejadian ketika lo menghilang enam bulan saat kita baru masuk kuliah semeser satu. Karena semua kegilaan ini, semua kekacauan ini bermula dari sana."

Pakin memanggil seorang pelayan, bertanya apakah dia diperbolehkan merokok di dalam ruangan, yang ketika izin itu dia kantongi, Pakin langsung mengeluarkan keretek dari dalam sakunya. Itu jenis rokok yang suka ia isap ketika sedang dalam kondisi kaya. Andrew memesankan beberapa slop untuknya saat Pakin tidak terbiasa dengan vape yang dia tawarkan. Pakin mengeluarkan macis dan memantiknya. Detik setelah itu, rokoknya mendedas dan ia langsung mengembuskan asapnya.

Laki-laki berambut keriting tersebut berdeham, menatap Neo, kemudian berkata, "Gue nggak ingin mendengar apa pun lagi, Nyo. Simpan cerita lo semuanya. Gue udah nggak peduli."

"Tapi gue ingin lo tahu kebenarannya, Kin. Gue ingin tahu bahwa lo bukanlah second opinion gue, dan nggak ada yang pernah bisa menggantikan lo."

Pakin mendecih. "Gue nggak peduli, Nyo. I mean. Neo. Mau lo menjadikan gue nomor pertama di hidup lo, mau lo menyanjung dan menyembah gue, gue nggak peduli. Udahlah. Nggak usah repot-repot menghabiskan tenaga lo hanya untuk ngasih penjelasan buat gue. Nggak ada gunanya. Kita juga sudah bukan temen lagi. Gue bahkan masih sangat ingat bagaimana lo memutuskan hubungan dengan gue. Udahlah, Neo. Kita jalani hidup kita masing-masing, ya."

Pakin menggerakkan kursi rodanya menggunakan tangan guna pergi dari sana sebelum Neo menghetikan Pakin, dan berlutut di hadapannya. Ia tumpukan kedua tangannya di pangkuan Pakin, matanya berpijar penuh harap.

"Gue minta maaf, Kin. Gue minta maaf banget. Gue nggak ada pembelaan apa pun sama lo karena gue memang salah. Gue terlalu takut untuk keluar dari zona aman gue selama ini, sampai-sampai gue membuat lo menderita seperti itu. Please, Kin. Kasih gue kesempatan. Gue berjanji nggak akan mengulangi hal kayak kemarin-kemarin. Gue nggak akan membiarkan lo melewati malam-malam panjang lo sendirian lagi, sehingga kejadian di teater waktu itu nggak bakal keulang. Gue mohon, Kin."

Sosok Andrew terlihat masuk ke dalam brasserie. Pakin sedikit bernapas lega, setidaknya ia akan terbebas dari kehadiran Neo. Persetan dengan makanan yang ayahnya pesan, tapi belum ia sentuh sama sekali. Dengan kemunculan Neo yang mendadak di sini, bisa memiliki nafsu makan dari mana, coba?

"Gue maafin, Neo. Udah, ya. Gue pergi dulu. Mending lo balik ke Indonesia, deh. Kalau gue sudah membaik gue juga akan pulang ke Indo, kok. Lo nggak perlu ngabisin duit lo dengan datang jauh-jauh ke sini. Semuanya sudah selesai, Neo. Udah, ya. Lo udah gue maafin, kok. Santai saja."

Andrew sudah berdiri di belakang Neo. Pakin langsung memutar roda-roda kursinya keluar dari kafe. Neo bangkit, menggeleng ke arah Andrew dengan tatapan sedih. Andrew menepuk bahunya, mengangguk paham.

"I've told you this before, right? Pakin is quite a tough nut to crack when it comes to having a chat. It wasn't just you. It took a good month before he was willing to talk to me after all that happened," katanya prihatin.

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang