9

2.1K 139 12
                                    

"Perih yang menyakitkan oleh tinta luka yang kehilangan penghapusnya."

_Taksa Gavriel Rasendriya_







Happy Reading

***







Aksa bersenandung ria sambil menikmati kue bolu di tangannya, kaki mungilnya bergerak kedepan kebelakang. Di atas ayunan putih ia duduk seorang diri menunggu sang adik yang katanya ingin mengambilkan oleh-oleh untuknya.

Siang tadi selepas pulang sekolah Ayah menjemputnya di rumah Tante Hesti, tentunya ia senang sebab ayahnya lah yang menjemput bukan supir seperti yang sudah-sudah. Sesampainya di rumah ia langsung di sambut oleh cerita kebahagiaan Wira selama empat hari liburan, moodnya sedikit memburuk mendengar apa saja yang adiknya itu lakukan di luar kota.

Aksa merasa sedikit iri, di saat ia bahkan belum pernah merasakan bahagianya berlibur seperti Wira, melakukan hal-hal menyenangkan seperti bermain istana pasir, menaiki wahana menyenangkan di lokasi terkenal. Wira selalu mendapat yang dia mau, apapun itu.

Aksa rasa ayah dan bundanya lebih menyayangi Wira.

Namun, rasa iri itu tertutupi antusiasme saat sang adik mengatakan membelikan oleh-oleh untuknya, dan Wira juga memberi tahu kalau dialah yang memilihkan oleh-oleh tersebut. Meski kesenangan di luar sana tidak ia dapat setidaknya masih ada hadiah yang akan dirinya dapat.

Menghela napas panjang, Aksa senantiasa menunggu adik satu-satunya yang tak kunjung menunjukkan kehadirannya. Kenapa Wira lama sekali?

Turun dari ayunan, bocah itu beralih duduk di bangku taman di halaman rumah.

"Kak Aksa!" jeritan di iringi raungan itu membuatnya terkejut.

Tergesa-gesa ia berlari menghampiri sumber suara yang dapat dipastikan itu adalah suara adiknya, dari jarak dua meter dia mendapati Wira yang sedang mencondongkan tubuhnya ke dalam kolam renang.

"Wi, kamu ngapain!" Aksa menjauhkan tubuh adiknya dari pinggiran kolam renang.

"Hadiahnya" Wira menunjuk kotak mainan robot yang mengambang di tengah air.

Aksa melebarkan matanya, itu mainan robot yang mirip seperti punya Kenzo. Kemarin Aksa meminta untuk dibelikan tetapi tak diperbolehkan oleh ayahnya.

"Maafin Wi, Kak" sesal Wira berlinang air mata.

Aksa mengalihkan perhatiannya pada sang Adik, lebih daripada mainan yang kini terombang-ambing di kolam renang, ia lebih tak kuasa melihat Wira yang bersedih seperti ini.

Menyunggingkan senyum semanis mungkin Aksa merangkul pundak adiknya, "Enggak pa-pa, itu oleh-oleh yang Wi belikan untuk Kakak?"

"Iya.." sahut Wira parau.

"Terimakasih ya."

"Tapi mainannya jatuh, Wi yang jatuhin."

"Enggak pa-pa."

"Kak Aksa gak marah?" Anak lima tahun itu terkekeh kecil, ia mengusap air mata adiknya.

"Kakak gak marah kok."

Dia tak mungkin memarahi sang Adik karena menjatuhkan mainan ke dalam kolam. Meski ia iri karena tidak diajak liburan, tapi dia cukup senang karena setidaknya masih ada yang mengingatnya dan membelikan oleh-oleh.

Kakak beradik itu lantas berjongkok di pinggir kolam, memandang mainan yang mengambang selayaknya perahu. Mereka coba berpikir dengan otak kecilnya, bagaimana cara mengambil mainan itu tanpa harus tercebur ke dalam air?

Terputus Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang