44

1.7K 85 38
                                    

"Isi kepala tetap berisik meski kesadaran semakin menipis. Seperti air di pantai, kapan tenangnya?"

_Taksa Gavriel_




Happy Reading

🌧️🌧️🌧️






Seorang remaja berlari tergesa-gesa memasuki tempatnya bernaung, riuh bunyi sepatu menggema saat ia berlari menaiki undakan tangga. Keringat membanjiri pelipis dengan masih mengenakan seragam sekarang dia membuka pintu kamar utama tanpa mengetuk terlebih dahulu.

Deru napas tak beraturan sebab lari yang dia lakukan, pandangannya menyapu sekitar yang sudah seperti kapal pecah, beling berserakan, kertas bercecer tak tentu arah, di tambah meja tumbang dari posisi seharusnya.

Tatapannya berakhir pada seorang pria yang terbaring menutup mata di atas kasur ditemani wanita yang duduk di pinggir ranjang dengan mata sembab. Pemuda itu mendekat lalu mendaratkan bokong di tepi kasur tak jauh dari ibunya.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kok Ayah bisa seperti ini?" tanyanya penasaran.

"Bunda gak tahu Wi, Bunda saja di kabari tukang kebun kita kalau Ayah kamu mengamuk" Danisa memijat pangkal hidungnya merasa pusing.

Sebenarnya suaminya ini kenapa? Belakang jadi emosian dan tak segan melukai orang di sekitarnya, semakin hari Bayu kian tak terkendali. Entah sudah berapa banyak perabotan rumah tangga dihancurkan suaminya itu.

"Dari kemarin Ayah marah-marah terus, heran. Seingatku dulu Ayah marahnya cuma sama Aksa, lah sekarang aku pun kena gampar" keluh Wira bernada kesal.

Ia tidak suka Ayah yang kasar, dia benci saat Ayah tidak lagi bersikap lembut. Pria itu telah berubah jauh dari apa yang selama ini Wira rasakan.

Apa ini karena keengganan Aksa untuk pulang? Seberpengaruh itukah? Dari sini ia jadi mengambil satu kesimpulan bahwa diantara dia dan sang kakak tidak pernah berada dalam level yang sama.

Dia mendapat kasih sayang dan segala hal yang seorang Anak inginkan dengan mudah, sementara sang kakak justru keterbalikka nya. Aksa memang diperlakukan tidak sama seperti Wira, tapi dia orang yang paling berpengaruh bagi ayahnya.

Ibaratnya cangkang kura-kura, saat ada cangkang itulah yang menjadi pelindung, tetapi jika kura-kura kehilangan cangkangnya sama saja dengan kehilangan rumah dan pelindung.

"Ayah mu lagi banyak pikiran Wi, mungkin pekerjaan kantornya ada masalah dan dia juga pasti kepikiran kakak kamu" terang Danisa tak ingin anaknya beranggapan yang tidak-tidak.

"Tapi kan gak harus ngebuat kekacauan kayak gini, Ayah lebay banget" sungut Wira, meski begitu ia tetap sangat mengkhawatirkan kondisi Ayah yang tak stabil emosionalnya.

"Heh, gak boleh ngomong gitu!" sergah wanita 42 tahun tersebut tidak suka dengan tutur kata putranya yang terdengar tidak sopan.

Atensi wanita itu beralih pada sang suami yang perlahan kembali memperoleh kesadaran setelah di beri obat penenang beberapa waktu lalu oleh dokter yang ia panggil. Pria itu mengerjap menyesuaikan bias cahaya yang masuk ke mata, ia sedikit meringis merasa pusing.

"Kamu sudah pulang Wi?" tanya Bayu bersandar pada kepala ranjang yang dengan sigap dibantu istrinya.

"Hemm" gumam pemuda itu memperhatikan wajah sang ayah lekat.

"Kenapa?" Bayu mengernyit tak mengerti maksud tatapan anak bungsunya.

Wira menggeleng sebagai respon atas tanya ayahnya.

Terputus Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang