13

2.1K 137 3
                                    

"Jika tidak mau kecewa berlebih maka jangan mempercayai seseorang dengan keterlaluan."

_Taksa Gavriel Rasendriya_







Happy Reading

***






Detik terus bergulir sampai tak terasa  usianya kini sudah delapan belas tahun, pendidiknya menginjak akhir masa putih abu-abu. Dulu ia hanya berpikir tentang kesenangan masa kanak-kanak, kini ia sudah harus berpikir untuk masa depan.

Mulai mencari jati diri di masa remaja dan belajar menentukan keputusan dalam memilih suatu keadaan.

Dari sekian banyaknya perubahan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir, ia cukup mengerti bahwa semakin bertambahnya usia masalah akan semakin gencar menantang.

Laki-laki yang sering dipanggil Aksa itu juga menyadari perubahan dalam dirinya sendiri. Bukan hanya postur tubuh yang meninggi atau ukuran sepatu yang membesar, tapi juga pola pikir yang mulai mengembang. Cara untuk menyikapi suatu masalah juga tak se-gegabah dulu, ia mulai bisa memposisikan diri.

Namun, meski begitu satu hal yang mungkin tidak akan pernah hilang dalam dirinya. Yaitu rasa takut terhadap ayahnya sendiri, ia bahkan tidak berani untuk bersitatap terlalu lama dengan sang Ayah. Itulah sebabnya Aksa tidak akan berani melawan ucapan ayahnya se-menyakitkan apapun itu, karena ia takut dipukul.

Kalau dengan bundanya, ia masih memiliki sedikit keberanian untuk 'memberontak' ya meski ujung-ujungnya ia akan menurut juga.

Remaja itu menutup pintu kamar pelan agar tak menimbulkan bunyi gaduh, hal ini ia lakukan sebab pernah menutup pintu sedikit kencang dan berujung di cecar habis-habisan oleh bundanya.

"Selamat pagi" sapa Aksa begitu sampai di meja makan.

"Pagi" Danisa menjawab sapaan hangat si sulung. 

Berbeda dengan sang kepala keluarga yang memancarkan sorot tajamnya, satu tidakkah kecil yang membuat Aksa diam tak berkutik.

"Pangeran kita sudah sampai rupanya" sarkas pria itu begitu anaknya duduk.

"Lihat betapa leletnya dia sampai-sampai lima menit kita terbuang hanya untuk menunggunya!"

"Yah, udah. Gak baik ribut-ribut di meja makan" Sang nyonya rumah mencoba meredam emosi suaminya.

Ia sangat paham watak suaminya yang tak suka harus menunggu, sekalipun itu hanya lima menit. Menurutnya orang seperti itu tak mempunyai kedisiplinan.

"Maaf Yah."

Pria paruh baya itu berdecak malas, sudah muak ia mendengar permintaan maaf anaknya yang pasti akan diulangi lagi dan lagi.

Kemudian keluarga kecil itu mulai menyantap sarapan masing-masing, tak ada yang berbicara sebab aturan yang diterapkan sang kepala keluarga melarang atau memulai obrolan hangat di kala pagi.

Aksa yang telah menghabiskan makanannya mencuri pandang kearah ibunya, dalam dirinya tengah berperang antara mengatakan keinginannya atau tidak. Setelah menimang-nimang akhirnya ia memberanikan diri untuk bersuara.

"Bunda."

"Humm?" Wanita itu bergumam pelan.

"Boleh gak aku minta uang lebih, soalnya aku harus beli beberapa barang buat tugas prakarya. Sama aku mau minta izin nginap di rumah teman buat kerja kelompok, boleh?" ucap Aksa ragu-ragu.

Terputus Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang