45

1.9K 96 13
                                    

"Seiring berjalannya waktu aku pasti akan baik-baik saja."

_Taksa Gavriel_








Happy Reading


🌧️🌧️🌧️










Indira mengetuk-ngetuk meja dengan pulpen, bola matanya sedikit memicing mengawasi pergerakan dua mantan teman masa remajanya.

Kalau boleh jujur ia bosan dengan kehadiran dua wanita itu, terlebih tujuan mereka tetaplah sama. Untuk meminta maaf. Huh, padahal sudah ia katakan tidak ingin berurusan dengan mereka lagi, tapi mereka bebal sekali.

"Indira, maafkan aku. Aku benar-benar menyesal" pinta Danisa menatap penuh sesal orang yang pernah ia sakiti begitu dalam.

Dahulu dengan tidak tahu malunya ia menerima pernyataan cinta dari Bayu, padahal ia tahu betul bahwa saat itu Bayu telah memiliki kekasih yang tak lain adalah Indira, kawannya sendiri.

Hubungan 'salah' itu terus berlanjut sampai Bayu dan Indira menikah bahkan sampai akhirnya Indira mengetahui segalanya, bukan dari orang lain melainkan melihatnya secara langsung.

Sakit hati seorang perempuan yang dikhianati suami dan teman sendiri, itu tak Danisa pikirkan sehingga ia terus melanjutkan perselingkuhan secara terang-terangan.

Ada hati yang hancur tapi ia tak peduli, ada tangis kekecewaan tak ia ambil pusing, ada seorang Ibu yang tengah berjuang mengandung seorang Anak dan ia menutup mata.

Karena ia mencintai pria itu, pria yang sudah beristri.

Dia tak mau kehilangan dan merebut adalah keputusan yang ia pilih. Peduli setan dengan yang lain, intinya dialah pemenang. Lagipula tidak ada yang salah dengan cinta bukan?

"Untuk semua lukamu, untuk semua tangisan dan derita yang kamu alami. Aku meminta maaf untuk itu. Atas waktu yang terbuang karena memisahkan kamu dari anakmu, aku minta maaf. Aku mohon maaf, maaf."

Kemudian perceraian Bayu dan Indira lah awal mula rasa bersalah itu menyeruak, ingin mengatakan maaf namun egonya setebal pasir pantai kala itu. Lalu Aksa menjadi pilihan menebus rasa bersalah pada perempuan yang telah ia sakiti begitu hebat. 

Namun, bukannya berjalan sesuai harapan ia justru memperkeruh keadaan.

"In—"

"Indira aku memang salah bla... bla... bla... dan seharusnya bla... bla... bla" sela wanita itu pada perempuan di samping Danisa.

"Bosan saya mendengar kalimat itu berulang kali, padahal saya sudah bilang berhenti menemui saya berhenti mengganggu saya. Kurang jelas yang saya bilang?" ujar Indira berterus-terang.

"Kita sudah berjalan di jalan kita masing-masing, pilih dan keputusan di masa lalu membuat kita berada di posisi ini. Apa yang dilewati untuk apa di sesali? Itu kan yang kalian inginkan dan yang saya pilih."

Wanita itu berpindah dari tempatnya, berdiri di dekat jendela yang memamerkan gedung-gedung di luar sana. Melipat tangan di depan dada, dia membelakangi Hesti dan Danisa.

"Kenapa baru sekarang meminta maaf dan mengaku salah? Peristiwa itu terjadi bahkan hampir sembilan belas tahun lalu, selama itukah memerlukan waktu untuk menyadari bahwa ada orang yang kalian hancurkan fisik dan hatinya?"

Keduanya terdiam membisu, untuk menatap punggung 'sahabatnya' saja rasanya tak pantas setelah apa yang dilakukan di masa silam.

Kenangan pahit itu sedikitpun tidak akan pernah hilang dari ingatan, saat tangis sepanjang jalan tidak ada yang mempedulikan, kaki yang pedih tergores kerikil tajam bahkan ketika nadi serasa kehilangan darah tak ada yang mencoba merangkul untuk tidak menyerah. Lantas apa gunanya maaf itu sekarang?

Terputus Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang