42

1.9K 118 31
                                    

"Hidup ibaratkan timbangan yang mesti seimbang, jangan sampai berat sebelah karena itu akan membuatmu jatuh semakin dalam."

_Taksa Gavriel Rasendriya_







Happy Reading

🌧️🌧️🌧️

Serpihan kaca menggema di tengah ruang keluarga, dentuman benda keras lainnya pun nyaring beradu dengan kerasyubin. Tak ada yang bersuara sebab para pekerja rumah memilih menyembunyikan diri di teras belakang daripada menjadi sasaran kemurkaan sangat tuan rumah.

Biarlah keluarga kecil itu menyelesaikan ketegangan  ini.

Di sisi lain Wira menunduk di dekat tangga, mencoba menyembunyikan diri. Matanya terpejam rapat sesekali mengernyit saat suara bantingan barang terdengar, ayahnya itu nampak sangat kacau setelah bertemu dengan Aksa. Entah apa yang sudah terjadi sampai-sampai Ayah mengamuk seperti itu.

"Wira! Kemari kamu cepat!" teriak Bayu memenuhi seisi rumah.

"Wira di mana kamu hah! Wira!" seru Bayu menendang meja saat putra bungsunya itu tak kunjung datang.

Pemuda dengan kaus oblong putih itu menelan saliva nya susah payah, meski dengan tangan gemetar ia memberanikan diri menampakkan wajah di depan ayahnya.

"Dari mana saja kamu?! Ayah panggil bukannya jawab! Mau Ayah usir juga kamu dari sini biar sekalian cuma Ayah yang tinggal di sini!" sembur pria 40 tahunan itu meluapkan kekesalan yang tak seharusnya dilampiaskan pada anaknya.

Wajah Wira semakin memucat, ia mainkan pinggiran celana pendek coklat yang ia kenakan. Perasaan dari tadi ia hanya diam tak melakukan apapun, tapi kok malah ia jadi kena omelan begini.

"Gak Kakak gak Adik sama saja, gak bisa menghargai Ayah! Nyusahin semua! Gak ngerti sama kerja keras ayahnya!"  sungut Bayu dengan emosi meletup-letup.

Setelah perbincangan dengan si sulung berakhir, ia tak bisa menerima keputusan sepihak itu. Bagaimanapun dia tidak mau berjauhan dengan anaknya itu, ya meski dialah yang membuat jarak. 

Dia tidak memiliki cara lagi untuk membuat Aksa pulang, apalagi sekarang rahasianya sudah Aksa ketahui. Semakin sulit lah dia membuat Anak itu kembali pulang.

Wira menghirup napas panjang lalu dihembuskannya perlahan.

"Sabar Wi, sabar." batinnya berucap.

"Kamu pikir kalau nanti Ayah mati rumah ini untuk siapa kalau bukan anak-anak ayah. Apa susahnya tinggal menikmati yang sudah ada!"

"Pernah gak Ayah menuntut ini itu? Memaksa bekerja, ngasilin uang? Harusnya kalian bersyukur bisa hidup se-makmur ini!" babat Bayu mulai melenceng kemana-mana.

"Iya Yah, iya" sahut Wira serendah mungkin.

"Apa iya, iya hah! Kalau mengerti harusnya bisa menghargai kerja keras Ayah! kakak kamu harusnya lebih memilih tinggal bersama Ayah! Dia harus lebih memilih dan menghormati Ayah!" damprat sang Ayah menciutkan nyali Wira.

Astaga, perkara Aksa yang lebih memilih tinggal bersama ibu kandungnya saja bisa membuat ayahnya ketar-ketir merasa kurang. Padahal kan dia juga yang menyuruh Aksa pergi.

"Lihat betapa luas dan mewahnya rumah ini, tapi kenapa kakak kamu tidak mau kembali! Apa yang kurang dari kemewahan ini?! Apa yang membuat rumah Indira istimewa?! Jika dibandingkan bahkan rumah ini jauh lebih besar!" Bayu menengadahkan tangan seolah menunjukkan sekeliling ruangan yang dihiasi barang-barang bermerek yang harganya bisa membuat dompet menangis.

Terputus Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang