01:30
9 Januari 2023
Malam aku kehilangan JenakaAngin malam yang menerpa tetap terasa menusuk tulang meski aku mengenakan jaket kulit yang cukup tebal. Jari-jari tanganku kebas. Biarpun begitu, aku tetap menarik hand-grip gas itu hingga nyaris maksimal, membuat laju Cobra, motor RX-King klasik berkecepatan tinggi yang kukendarai seolah hendak menyaingi arus udara.
Di belakangku, tidak ada barisan motor lain yang biasanya selalu mengekor. Di kepalaku, tidak ada rencana tentang bagaimana caranya keluar hidup-hidup dari markas para musuh yang tengah kutuju. Atau, rencana tentang bagaimana malam ini akan berakhir. Malah, tidak ada rencana apa pun. Kepala yang biasanya selalu dipenuhi siasat ini tiba-tiba saja berkhianat, membiarkanku bertindak tanpa persiapan, apalagi rencana cadangan.
Hanya ada Jena.
Jika gadis itu sampai terluka, jika para begundal itu berani menggores kulitnya walau hanya beberapa senti saja, aku bersumpah akan memporak-porandakan tempat itu walau harus mati setelahnya.
"Ingat, karena tujuan kita beda, caranya pun harus beda. Kalau kita sama aja dengan mereka, semua jadi percuma." Begitu Taka pernah berkata dulu. Namun, kini bahkan dia tidak ada lagi untuk menghalangiku menghancurkan mereka.
Dan, untuk menghancurkan diriku sendiri.
Motor berbelok di tikungan terakhir. Beberapa puluh meter di depan, terlihat garasi besar yang terbuka dan dihalangi oleh puluhan orang yang berdiri di mukanya. Sebagian mengacungkan tongkat baseball dan batu sebagai senjata, terlihat pula ada yang membawa celurit dan pedang panjang yang menyerupai samurai. Beberapa membawa bendera dengan gambar tarantula hitam yang merupakan lambang dari mereka, diikatkan pada bilah bambu.
Semua itu tidak membuatku gentar. Sebaliknya, aku meningkatkan kecepatan.
Yang tidak mereka tahu, aku tidak menyalahkan mereka atas penculikan Jena. Tidak sepenuhnya. Orang yang harus membayar kekacauan ini adalah diriku sendiri. Setelah memastikan Jena keluar dari tempat ini dengan selamat, aku tidak peduli lagi dengan segalanya.
Jarak di antara kami semakin berkurang. Barisan terdepan mulai berlari maju.
"Blacktulaaa?" seru salah seorang yang berdiri di paling depan.
"Berbisa!" teriak sisanya, menggema di jalanan yang sepi.
Semua serempak menuju satu tujuan—aku.
Tanpa mematikan mesin, aku berdiri di atas step kaki, lalu naik ke leher motor. Kemudian, dengan sekali hentakan, melompat ke samping dan mendarat bertumpu pada kedua kaki dalam posisi nyaris berlutut. Sementara Cobra, benda mati yang lebih setia daripada teman mana pun selama beberapa tahun terakhir, terus meluncur hingga akhirnya jatuh berderit dan menabrak kaki beberapa dari pasukan Blacktula.
Tanpa membalikan badan, aku meraih tongkat yang menyembul dari ransel di punggung—satu-satunya senjata untuk melawan puluhan orang itu. Aku bangkit dan mulai berlari, menerjang orang-orang yang berniat menghabisi. Helm full-face ini masih melindungi kepala, tidak kulepas. Belum. Aku masih membutuhkannya, kepala. Sampai Jena kupastikan aman. Setelahnya, persetan.
Beberapa batu mulai terasa menimpa tubuhku, dilayangkan dari jarak dekat oleh para musuh itu.
"Serigala kampung!"
"Mampus, anjing!"
"Habisi!"
Bersamaan dengan seruan-seruan itu, serbuan pertama datang. Tidak terasa mengejutkan—aku telah mengantisipasi pukulan-pukulan yang datang. Beberapa Blacktula menebaskan celurit tajamnya pada kedua lenganku menangkis serangan mereka. Itu tidak menghalangiku untuk tetap mengayunkan tongkat pada sosok-sosok yang berdiri paling dekat, sambil terus berusaha melesak maju menuju garasi itu. Bahkan darah yang menetes dari luka sobekan akibat tebasan celurit-celurit itu tidak menghalangi tekadku.
Aku menghajar satu, dua, tiga orang. Demi satu, dua, tiga langkah lebih dekat ke arah Jena.
Orang-orang yang berhasil kulewati berbalik menyerang dari arah samping dan belakang, membuatku terkepung dalam lautan manusia. Aku berusaha tidak memedulikan serangan selain yang datang dari depan, dan terus maju sambil memukul membabi buta. Namun, pukulan dari segala arah itu membuatku kehilangan senjata terlalu cepat—tongkatku jatuh saat masih ada beberapa meter lagi untuk sampai ke garasi. Itu artinya, puluhan musuh lagi yang menghalangi, dan harus kulawan dengan tangan kosong.
Aku berhasil menerobos barikade manusia itu cukup jauh, dengan tak terhitung banyaknya tinjuan, tendangan, dan tangkisan. Hanya tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai di garasi tempat mereka sepertinya menyimpan Jena. Buku-buku jari telah lecet parah, nyeri pada punggung dan lengan tak bisa lagi tak dihiraukan. Aku begitu ingin berhenti bergerak dan membiarkan mereka mengoyak tubuh ini hingga tak perlu lagi berdiri.
Namun, saat mendongak, aku akhirnya melihat ruangan bercahaya temaram yang sedari tadi tertutupi tubuh-tubuh brutal. Dari sela-sela para penyerang, terlihat sosok gadis itu duduk di atas kursi kayu di tengah ruangan. Rambut hitam panjangnya tergerai dan bergoyang-goyang karena ia terus menggeliat. Tangannya terikat di bagian belakang bangku, mulutnya tertutup lakban hitam. Ia berusaha berdiri untuk melihat ke arah luar, tahu bahwa akulah penyebab keributan yang tengah terjadi. Namun, pandangan kami tak bertemu, usahanya untuk berdiri itu percuma karena dengan kaki yang juga terikat, sekadar berdiri merupakan hal yang mustahil.
"Jena!" panggilku sekeras mungkin. Gadis itu harus mendengar suaraku di antara riuh seruan para Blacktula yang menggila oleh euforia serangan puluhan lawan satu. Jena harus tahu, aku akan melepaskannya dari kursi sialan itu.
Saat itulah aku mendengar bunyi berderak keras yang disusul nyeri yang luar biasa pada kepala. Bersamaan dengan pening yang kemudian menyerang, aku tersadar bahwa seseorang baru saja memukul kepalaku sekuat tenaga dengan benda tumpul—mungkin tongkat atau batu— dan membuat helm yang melindunginya retak.
Secara refleks aku menyentuhnya dan berhenti bergerak sejenak. Satu detik itu saja cukup untuk menghapuskan jarak sempit yang kupertahankan antara tubuh ini dan mereka—kini aku benar-benar dikerubungi para manusia yang menyebut-nyebut dirinya sebagai laba-laba hitam itu.
Pukulan dan tendangan yang dilayangkan tidak lagi berjeda, aku tidak bisa lagi menangkis atau pun melawan—tidak ada ruang sama sekali untukku menggerakan tangan.
Perlahan aku mulai jatuh, kedua kaki ini tidak mampu lagi bertahan. Para Blacktula menunduk dan terus memukuli tubuh yang telah tersungkur.
Sialan! Seharusnya aku tahu, misi penyelamatan yang dilakukan seorang diri ini sejak awal mustahil berhasil. Setelah dipikirkan lagi, dalam alam bawah sadar, aku memang tahu. Hanya, mencoba sampai mati lebih baik daripada tidak sama sekali, bukan?
"Jena!" Dadaku telah terasa begitu sesak karena menahan nyeri yang menjalari sekujur tubuh, tetapi aku mencoba berteriak sekali lagi. Berharap setidaknya, gadis itu dapat mendengar. Agar ia tahu bahwa aku telah mencoba.
Sebelum memejamkan mata, aku berpikir. Barangkali, jika aku mati di sini, mereka akan melepaskan Jena karena tidak memiliki guna lagi. Aku juga berharap pandangan Jena masih terhalang, sehingga ia tidak perlu melihat kematianku di tangan para laba-laba.
***
Hai, readers!
Cerita baru lagi nih, semoga suka ya sama prolognya.XOXO,
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...