Rapat ditutup sekitar dua puluh menit setelah kepergian Banggo. Dalam perjalanan pulang, aku memikirkan penjelasan Taka mengenai alasannya memilihku untuk posisi penting itu. Alasan yang aku sendiri pun tidak terlalu mengerti. Insting, ia bilang. Seorang alfa harus selalu mempercayai instingnya. Selain Banggo, beberapa anggota lain mungkin masih merasa keberatan, hanya tidak menunjukannya karena terlalu menghormati Taka. Entahlah.
Sesampainya di depan rumah kontrakan, aku menyadari jendela rumah Tante Reni masih terang oleh cahaya lampu. Aku pun teringat pada niat untuk mampir dan memberikan cokelat pemberian Jenaka pada Rayi dan Raka. Maka, setelah memarkirkan Cobra, aku naik tanpa menutup pagar terlebih dulu. Kemudian, kuraih cokelat yang telah teronggok di rak kulkas selama hampir satu minggu itu.
Sesampainya di depan pagar Tante Reni, aku berhenti sebelum menekan bel. Tiba-tiba saja, aku menyadari bahwa memberi hanya sebatang cokelat pada dua orang bocah mungkin bukanlah ide yang terlalu bagus. Mereka akan harus membagi dua makanan itu. Apakah aku akan terkesan seperti orang yang perhitungan?
Teringat akan kemurahan hati Tante Reni dan Om Lukman, aku urung menekan bel. Alih-alih, aku berbalik dan kembali menaiki Cobra untuk pergi lebih dulu ke minimarket.
"Selamat datang di Sidimaret, selamat berbelanja," sapa kasir minimarket tak sampai sepuluh menit kemudian.
Aku tidak mengindahkannya, pikiranku tengah berkelana. Terlalu lama menggenggam cokelat ini membuat ingatan melayang pada Jenaka dan bagaimana ia mengacungkannya ke depan hidung dengan mata basah dan hidung merah hasil dari menangisi si Gondrong.
Kususuri lorong minimarket, mencari cokelat yang sama dengan pemberian gadis itu. Saat akhirnya menemukannya, aku membawa sebatang dan kembali berjalan menuju kasir.
"Ucapan terima kasih. Tanpa kamu, mungkin sekarang ini aku masih terjebak sama cowok gak jelas itu."
Sial! Wajah sendu Jenaka saat ia bersikeras agar aku menerima cokelat ini terus berkelebat.
"Terima, ya? Seenggaknya, aku coba berterimakasih dengan ini. Setelah semua kerepotan yang harus kamu lalui tadi."
Aku menghentikan langkah, lalu mengusap wajah dengan kesal. Apa yang salah dengan diriku? Aku bahkan tidak pernah menyukai makanan manis dan lengket ini. Mengapa tiba-tiba saja aku enggan memberikannya?
Aku memutar-mutar kudapan berkemasan kertas karton mengkilat itu untuk memperhatikan setiap sisinya. Wajah Jenaka di dalam bus kota tetap tidak mau enyah dari bayangan.
Akhirnya, aku menghela napas seraya berbalik dan mengambil satu batang cokelat lagi dari rak cemilan. Rayi dan Raka masing-masing akan menerima satu cokelat. Sementara, cokelat pemberian Jenaka aman tersimpan di dalam saku jaket dan akan kumasukkan kembali ke dalam kulkas.
Bukan karena alasan spesial apa pun, tentu bukan. Hanya karena... aku menghargai pemberian orang lain. Ya, pasti itu alasannya, bukan?
***
Hari demi hariku berlalu cukup menyenangkan di kota yang baru ini. Tanpa terasa, dua minggu sudah aku bergabung di Kapow. Aku telah mulai terbiasa berkegiatan fisik secara rutin, yang mana sebelumnya sangat jarang aku lakukan. Sekarang ini, kami baru saja selesai berlatih sebuah gerakan baru dan akan melakukan meditasi sebagai gerakan pendinginan.
Ekor mataku menangkap sosok Jena di barisan lain. Gadis itu melambai sambil tersenyum manis saat melihatku. Kubalas dengan senyum dari jauh. Selain membuatku terbiasa berkegiatan fisik, pertemuan-pertemuan Aikido yang sudah kuikuti juga membuatku tidak lagi merasa canggung dengan kehadiran Jena.
Kami tidak banyak berinteraksi pada waktu latihan, karena praktek gerakan di Kapow hanya dilakukan sesuai gender. Tetapi, Jena dan aku selalu menghabiskan waktu bersama-sama setelah kelas usai. Entah di warung ramen, atau di sebuah tenda nasi goreng yang juga berlokasi di Jalan Merak, tempat gedung Kapow berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...