Dadaku terasa seperti akan pecah. Itu membuatku tahu bahwa—lagi-lagi—aku belum mati. Aku membuka mata, namun yang ada hanya gelap. Yang terlihat hanya tanganku yang terus bergerak-gerak, tanpa sesuatu yang bisa digapai. Aku bahkan tidak bisa melihat Felix.
Felix. Di mana lelaki itu berada?
Berbekal kesadaran itu, akhirnya aku mampu berpikir jernih. Memberontak di dalam air hanya akan membuat tubuh ini tenggelam semakin dalam. Maka, aku berhenti bergerak dan hanya menggunakan kakiku untuk menendang ke bawah. Setelah entah berapa lama, saat aku nyaris tak sanggup lagi menahan napas, akhirnya kepalaku berhasil muncul di permukaan.
Aku menghirup oksigen dengan rakus. Lalu segera menengok ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan Felix. Lelaki itu tadi jatuh bersamaan denganku. Ia tidak mungkin mendarat terlalu jauh bukan?
Alih-alih Felix, mataku menangkap sesuatu yang lain. Papan kayu berlapis spanduk yang tadi menghantam lelaki itu, tersangkut pada sebuah batang pohon di tengah sungai. Jaraknya beberapa meter di sebelah kiri, searah dengan arus. Aku membiarkan aliran air membawa tubuhku ke sana dan segera menggapainya. Proses melepaskannya dari dahan pohon yang menjepit cukup sulit, karena kedua tanganku sepenuhnya menggigil. Aku juga merasa sangat berat karena jaket kulit dan ransel yang masih kukenakan bertambah berkali-kali lipat bobotnya karena beban air.
Segera kulepaskan kedua benda itu meski luka sayatan celurit di tanganku seketika terasa perih luar biasa karena bersentuhan langsung dengan air sungai. Setelahnya, barulah papan kayu yang mungkin dapat membawa perubahan antara hidup dan mati itu berhasil bebas dari jepitan dahan pohon. Aku merayap ke permukaannya. Meski beberapa kali gagal dan papan malah berbalik menindih tubuhku, pada akhirnya aku berhasil menaikinya—setengah badan menelungkup di atasnya sementara kakiku tetap mengapung di air. Itu tetap lebih baik.
Aku kembali menoleh ke kiri dan kanan seraya memicingkan mata, mencoba mencari manusia lain yang terapung-apung di sungai besar ini. Felix.
Dalam keadaan genting itu, saat kedua kakiku keram dan sekujur tubuh menggigil kedinginan, benakku melayang pada Taka. Pada angan-angannya akan perdamaian di antara Kawani dan Blacktula. Angan-angan yang kini mungkin dapat kuwujudkan.
Jika aku tahu di mana laba-laba sialan itu berada.
"Felix!" Aku berteriak sekuat tenaga, berkali-kali.
Bayangan akan kepalanya yang terkulai beberapa detik sebelum kami jatuh membuatku memikirkan berbagai kemungkinan buruk. Mungkinkah lelaki itu masih tak sadarkan diri dan telah terbawa arus, begitu jauh hingga aku tak dapat melihatnya? Atau, lebih buruk lagi...
Pemikiranku terpotong saat terlihat sebuah tubuh menelungkup mengapung mendekat ke arahku. Aku segera mengulurkan tangan untuk menangkapnya sebelum ia melewati papan kayu. Jantungku berdebar begitu kencang. Lelaki ini harus bertahan hidup. Jika tidak, aksi heroikku tadi akan benar-benar menjadi lelucon belaka.
"Felix!" Sekuat tenaga, aku membalikkan tubuhnya.
Wajah itu seputih kapas. Aku mengguncang-guncang bahunya seraya terus berteriak. Lalu, aku turun dari papan dan—entah dengan kekuatan dari mana—berhasil menaikkan tubuh Felix ke sana dalam waktu singkat. Kurasa keadaan terjepit selalu membuat manusia mengeluarkan cadangan tenaga yang tak terduga. Aku mengecek pergelangan tangannya. Syukurlah, denyut yang cukup stabil terasa di sana.
Aku memukuli dada Felix berulang kali. Dengan permukaan papan yang tidak seberapa lebar dan terus bergoyang karena tekanan air, mustahil melakukan bantuan pernapasan yang memadai. Apalagi, bagi amatir sepertiku.
"Bangun, sialan!" umpatku frustasi sambil menampar-nampar pelan wajah lelaki itu. "Blacktula!" Kutekan sekali lagi dadanya, sekeras mungkin kali ini.
Seketika Felix terbatuk keras dan menyemburkan air dari mulutnya, membuatku nyaris menangis karena rasa lega. Sebagai gerakan refleks, ia bangkit terduduk dan tentu saja tubuhnya segera merosot dari papan, kembali jatuh ke sungai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...