Satu minggu telah berlalu sejak Sabtu yang kelabu di Kabupaten Bandung. Pada akhirnya, dengan berat hati aku memutuskan untuk melewatkan rapat rutin Kawani yang direncanakan Taka demi pergi ke Jakarta selama dua hari satu malam dengan rombongan Aikido Kapow. Kang Ahmer bersikeras bahwa setiap anggota dojo harus berpartisipasi dalam acara yang hanya diadakan satu tahun sekali ini. Taka pun sepenuhnya mengerti dan justru sangat mendukung keseriusanku dalam Aikido.
Aula olahraga Universitas Trisakti yang sangat luas ini dibagi menjadi sepuluh arena tarung. Jena mendapat tempat di arena bagian tengah. Dari bangku penonton, aku menyipitkan mata untuk berusaha menyaksikan tes terakhir gadis itu dalam ujiannya. Sudut pandangku terhalang oleh dua pasangan tarung lainnya yang berjarak lebih dekat ke bangku penonton.
"Ini rasanya kayak lagi nonton konser idol tapi beli tiket paling murah, ya." Ramzi yang duduk di sampingku berkelakar.
Aku tertawa kecil sebagai respons atas candaan Ramzi. Walaupun berstatus sebagai pelatih di Kapow, lelaki yang usianya tak berbeda jauh dariku itu juga menjadi peserta Ujian Kenaikan Tingkat. Sama sepertiku, Ramzi juga mendapat jadwal ujian di hari ke-dua. Tingkat dan¹-5-nya akan berubah menjadi dan-4 jika besok berhasil lulus.
"Kayaknya Jena lulus, sih," komentar Ramzi lagi. "Lihat, gerakannya tepat dan mulus semua. Dia lumayan berbakat dan benar-benar giat. Di ujian tahun lalu, Jena juga lulus dari kyu-6 ke kyu-nya yang sekarang padahal baru tiga bulan gabung di Kapow."
"Oh iya?" tanyaku, benar-benar ingin tahu. Jena tidak pernah menceritakannya padaku.
Ramzi mengangguk lagi. "Dia emang gak jadi primadona tanpa alasan. Btw, kok kamu bisa deket sama dia, Rai?" tanyanya tanpa melihat ke arahku, masih berusaha melihat permainan yang tengah berlangsung di tengah arena. Tentu saja Ramzi ingin tahu. Sejak malam latihan silang gender minggu lalu, sepertinya hanya itulah yang ingin diketahui seluruh warga Kapow dariku—mengapa aku bisa begitu dekat dengan sang primadona. "Padahal, kalian beda sekolah, kan?"
"Gak tahu juga, deh," jawabku jujur. "Kita beberapa kali ketemu tanpa disengaja. Terus, ya ngalir aja."
Ramzi mendelik lalu meninju pelan pundakku. "You lucky bastard!²" lontarnya dengan nada sebal yang dibuat-buat. "Dia emang ramah, tapi selalu tertutup sama semua orang, tahu gak? Semua orang kecuali kamu."
Tidak tahu bagaimana harus menanggapinya, aku hanya terkekeh.
Aku tahu apa yang dikatakan Ramzi benar. Setelah mengenal Jena selama satu bulan, hal itu terlihat jelas—bagaimana ia menutup diri walaupun tetap selalu bersikap ramah dan sopan. Cara orang-orang di sekitarnya memperlakukan Jena tidak membantu sama sekali. Gadis itu benci selalu menjadi pusat perhatian. Namun, apa pun yang ia lakukan selalu menjadi sorotan. Belum lagi, janji kampanye sang ayah mengenai penertiban aktifitas geng motor yang semakin memperparah keadaan.
Itu menjelaskan mengapa ia tidak bersikap demikian padaku. Sejak pertama kali bertemu, aku tidak pernah menganggapnya sebagai Jenaka si Selebriti Sidikara. Bagiku, ia hanya Jena. Baginya, aku adalah si pendatang baru. Semua itu mungkin akan berubah jika Jena tahu jabatan apa yang kini kuemban. Itulah alasan aku tetap menunda memberitahu fakta yang satu itu padanya.
Jena bahkan tidak mengetahui sisa-sisa lebam yang masih ada di sekujur tubuhku. Beruntung, aku sama sekali tidak membuka helm full-face selama penyerangan, sehingga tidak ada jejak perkelahian yang bisa terlihat di area wajah. Dengan luka-luka yang ada di punggung, lengan, dan kaki, rahasia itu masih aman tersimpan selama aku mengenakan baju dan celana panjang.
Di arena tarung, terlihat Jena dan lawan mainnya tengah membungkukkan badan untuk memberi hormat pada para juri, tanda bahwa tes terakhir telah selesai. Mereka telah lulus ujian dan resmi naik ke kyu selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...