Kami sampai di sebuah bangunan rumah lama bercat krem dengan pagar putih yang telah banyak mengelupas, menampakkan warna besi berkarat. Saat motor yang kutumpangi tiba, berderet-deret motor telah sampai lebih dulu dan sedang berparkir. Salah satunya adalah yang ditumpangi Taka.
Lelaki itu segera dipapah oleh dua orang, sementara satu orang lagi membuka pagar dengan tergesa-gesa. Darah pada bagian belakang bahunya terlihat semakin banyak, menjadikan jaket berwarna dasar putih itu dipenuhi merah pekat.
Aku ingin pamit untuk pulang. Namun, aku tidak bisa melakukannya tanpa menjadi bajingan tidak tahu terima kasih—Taka dan kawannya yang berbadan besar tadi telah membuatku berutang nyawa. Dan itu bukan hanya ungkapan, melainkan benar adanya. Tanpa mereka, bukan tidak mungkin si Rapi telah menembakku tepat di dada. Mereka menyelamatkanku dari kematian konyol di tangan preman judi. Begitu pun dengan gerombolan yang sepertinya adalah geng motor ini.
Maka, walaupun enggan, aku ikut masuk dengan rasa tak nyaman yang berkecamuk. Selain karena tidak nyaman berada di antara manusia sebanyak ini, aku juga merasakan sebuah perasaan aneh. Seperti orang asing yang tiba-tiba membaur dalam sekumpulan orang-orang yang keakrabannya setingkat keluarga.
Bagian dalam rumah bercat kuning muda yang sudah terkelupas di beberapa bagian itu terasa hangat walaupun tidak ada orang yang menyambut dari sana. Ruangan pertama sepertinya berfungsi sebagai ruang tamu. Pada bagian belakang lemari besar yang berfungsi sebagai pemisah dengan ruangan sebelahnya, menempel sebuah bendera besar dengan gambar kepala serigala abu-abu yang sama dengan yang ada pada bagian belakang jaket Taka dan yang lainnya. Kata yang tertulis di bagian bawah gambar serigala itu, Kawani, kusadari adalah kata yang tadi diteriakan salah satu kacung si Rapi. Sepertinya, itu adalah nama kelompok mereka.
Kami melewati lemari itu dan memasuki ruangan lain dengan sebuah sofa panjang yang tampak nyaman walau kainnya telah bladus, televisi tabung berukuran besar di atas meja, dan lantai yang lumayan luas tetapi tidak tertutup karpet. Pada salah satu dindingnya menggantung beberapa figura yang berisikan foto puluhan pemuda.
Rumah lama ini, dengan cat mengelupas dan furnitur seadanya, terasa lebih seperti rumah dibandingkan tempat luas dan mewah yang kutinggali dengan Darwan di Kota Malang. Tempat yang bahkan tak pantas lagi disebut rumah.
Taka dibaringkan di atas sofa bladus, jaketnya dibuka dan tampaklah kaus berwarna muda yang tidak terlihat lagi warna aslinya karena dipenuhi oleh darah. Yang lain mengerumuninya. Ada yang mengumpat, mendesah ngilu, beberapa berpaling dari pemandangan yang memang cukup membuat ngeri itu.
"Banggo, kenapa sampai begini, sih?" tanya salah satu dari mereka pada si badan besar teman Taka sambil menggunting kaus berlumur darah itu. "Ngapain cari gara-gara sama si Aga, Bang? Kan, maneh sama Taka juga tahu dia itu gimana."
Aga. Ternyata itulah nama si Rapi. Sepertinya reputasi preman judi itu sudah banyak diketahui.
Si badan besar yang dipanggil Banggo melirik ke arahku sebelum menjawab, "Taka lagi pengen main pahlawan, tapi malah kena sial."
"Udah, gak apa-apa." Taka buka suara. "Cuma luka tembak di bahu. Maneh bisa kan, Zul?"
Aku berdeham. "Apa gak sebaiknya kita ke rumah sakit sekarang? Itu darah yang keluar juga udah banyak."
"Alah, ribet." Taka yang menjawab. Ia menyerengeh padaku seolah sedang dalam situasi biasa. "Kenalin, Rai, ini namanya Zul. Dokter bedah terbaik di Rumah Sakit Kawani."
Mataku menangkap Banggo memutar matanya dengan ekspresi kesal. "Tak, serius dulu, dong." Ia berpaling pada Zul. "Maneh yakin bisa, Zul?"
Zul mengangguk sambil mengamati luka tembak di bahu Taka. Lelaki berkulit putih dan bertubuh kurus itu lalu berpaling pada Banggo. "Ini kan sebenernya sama aja kayak waktu urang¹ nanganin si A Eri. Cuma karena dia di lengan, jadi darahnya gak sebanyak ini." Ia berpaling pada seorang lelaki kurus berkacamata yang terlihat lebih muda. "Aman kan, dia? Nepi ayeuna²?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...