20 November 2022
Sepuluh hari sebelum JenakaRasanya baru beberapa detik saja aku terlelap ketika suara pagar dibuka terdengar dan disusul gebrakan pada pintu rumah. Aku berdecak kesal karena tahu akan sulit sekali kembali tertidur setelah terbangun seperti ini.
Waktu menunjukan tiga puluh menit lewat dari tengah malam. Cukup larut, tapi terhitung masih sore untuk ukuran jam pulang lelaki itu biasanya. Aku mencoba untuk tidak peduli dan menarik selimut lebih tinggi lagi ke arah pundak. Udara malam Kota Malang akan membuat siapa pun bersahabat dengan selimut tebal.
Kantuk baru saja akan mengalahkanku saat lagi-lagi terdengar suara bising yang menganggu. Kali ini, suara itu datang dari volume tinggi televisi.
Merasa benar-benar kesal, aku bangkit dan menyeret kaki keluar dari kamar, menuruni tangga untuk menuju ke lantai satu. Jika aku memaksakan diri untuk melanjutkan tidur dan membiarkannya sendiri, bukannya lelap yang akan kudapatkan melainkan berang. Nyaring suara pagar, pintu, dan televisi tadi biasanya akan disusul dengan suara gelas atau piring pecah, lalu makian dan gerutuan kasar.
Kini, seperti tak terhitung banyaknya malam-malam lain, kembali tidur adalah hal yang mustahil.
"Bisa gak kalau gak berisik?" tanyaku dingin setelah menginjakkan kaki di anak tangga paling bawah, berhadapan dengan punggung sofa dan kepalanya yang tengah menghadap ke televisi.
Lelaki bernama Darwan itu menengok ke belakang, mendapatiku berdiri dengan ekspresi muak, lalu meraih remote control dan mengubah setting suara televisi menjadi mode sunyi. "Arai? Ayah kira kamu sudah tidur."
"Oh, tadinya memang sudah," jawabku sambil mengangguk-angguk berlebihan. "Besok Senin. Dan gak seperti seseorang, aku bukan pengangguran."
Darwan menghela napas dalam-dalam, sepertinya menahan diri untuk tidak menjawab sindiran tadi. "Mumpung kamu sudah terlanjur bangun, duduk di sini sebentar." Ia berbalik badan dan menepuk dudukan sofa di sampingnya. "Kita bicara."
Tidak merasa memiliki kewajiban untuk menurutinya, aku berbalik dan kembali menaiki tangga. "Bicara nanti aja, kalau udah sober¹."
"Ayah gak mabuk, Rai."
Aku memutar mata walau ia tak dapat melihatnya. "Ya, ya, ya."
"Ayah serius. Sudah cukup lama sejak botol terakhir. Kamu bisa duduk di sini dan buktikan sendiri."
Aku menghentikan langkah, mau tak mau merasa penasaran akan tantangannya.
Ia sepertinya menyadari itu, karena kemudian suaranya kembali terdengar. Kali ini, lebih tegas. "Kemari, Rai."
Aku berpikir tidak ada salahnya untuk mengikuti maunya satu kali ini saja. Toh, kantukku sudah lama hilang.
Menit berikutnya kami telah duduk bersisian.
"Tadi Ayah ketemu teman lama."
Aku cukup terkejut ketika mendapati benar-benar tidak ada bau alkohol yang menguar dari mulutnya. Sorot matanya pun tampak fokus saat menatap ke arah televisi bisu. Ia memang selalu seperti itu—tidak menatapku—biar pun kami jelas-jelas tengah bercakap-cakap.
Setelah terdiam selama beberapa detik dan tidak ada respon apa pun dariku, ia melanjutkan, "Dia itu dulunya alkoholik. Sama seperti Ayah."
"Terus? Gak sekalian minum-minum bareng?" Aku tak tahan untuk tidak terus melancarkan sindiran-sindiran.
Darwan lagi-lagi menghela napas, lalu bersandar ke kepala sofa dan memejamkan mata. Kentara sekali ia merasa frustasi karena kesulitan mendapat respon yang baik saat berbicara denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...