Lemari plastik dua pintu yang termasuk ke dalam furnitur bawaan rumah Tante Reni itu sepenuhnya kosong kecuali dua rak teratas. Aku memang tidak pernah menghabiskan waktu untuk berbelanja pakaian. Semua kaus yang kumiliki berwarna hitam atau putih—yang kubeli satu kodi secara online. Aku akan membeli satu kodi lagi jika kaus-kaus tersebut sudah terlihat lusuh, dan begitu seterusnya.
Berbeda dengan kaus-kaus polos berwarna monokrom di sampingnya, setiap celana yang kumiliki dibeli langsung di sebuah mal di Malang. Sungguh menghabiskan energi untuk pergi ke tempat penuh keramaian itu. Namun, jika memaksakan diri berbelanja online untuk barang yang satu ini, aku akan berakhir dengan celana-celana yang panjangnya hanya mencapai bagian bawah betis.
Semua itu karena tubuh 187 cm yang kuwarisi dari Darwan. Jarang sekali ada celana dari merek lokal yang cukup panjang untuk melapisi kaki berukuran ekstra ini.
Aku memakai sebuah kaus dan celana panjang ke tubuh yang masih lembab dari sisa air mandi, lalu bersiap pergi. Saat telah membuka pintu kontrakan dan bersiap menuruni tangga, aku teringat sesuatu dan kembali masuk untuk membuka kulkas. Dari dalamnya, aku menyambar dua potong sandwich yang diberikan oleh Tante Reni ketika kami berpapasan di depan rumah kontrakan tadi sore.
"Buat cemilan sore, Rai," pesannya. "Nanti malam, turun aja makan di rumah Tante, ya! Awas tong ngabaso deui.¹"
Di samping sandwich, terlihat sebatang cokelat pemberian si Gadis. Tentu saja tidak kumakan. Aku tidak pernah tahan dengan rasa manis yang berlebihan dari makanan yang satu itu, belum lagi teksturnya yang cepat mencair dan akan membuat tangan terasa lengket. Kututup pintu kulkas sambil berpikir bahwa mungkin besok aku akan memberikan cokelat itu untuk salah satu anak Tante Reni.
Udara malam menyambut ketika aku mulai menuruni tangga rumah kontrakan. Aku merapatkan jaket. Berada di ujung barat pulau Jawa, Sidikara ternyata bersuhu lebih dingin dari Malang.
Langkahku berlawanan arah dari halte bus yang diberitahu Tante Reni. Sore tadi, setelah berpisah dengan si Gadis dan mengecek jalan pulang dalam aplikasi peta, aku terkejut. Ternyata, halte yang berdekatan dengan rumahnya itu hanya berjarak 300 meter dari rumah kontrakan. Dipisahkan oleh sebuah jalan tikus.
Jalan tikus itu berakhir di sebuah gang di bagian belakang rumah kontrakan, yang mana belum pernah kulewati selama empat hari tinggal di kota ini. Sehingga, wajar saja aku tidak mengenali pemandangan di sana tadi sore. Halte itu, jaraknya memang lebih jauh dari kontrakan dibanding halte yang diberitahu Tante Reni, tetapi lebih dekat ke pusat kota. Itulah mengapa aku memilihnya.
Tentu saja bukan karena lokasinya berdekatan dengan perumahan tempat gadis aneh itu tinggal.
Sama sekali bukan.
Tanpa terasa aku telah sampai di halte. Google memberitahu jurusan bus apa yang harus dipilih untuk sampai di tempat yang kutuju, tetapi ternyata bus dengan nomor tersebut belum ada. Aku pun mengambil posisi duduk di bangku halte yang kosong itu, lalu mulai membuka lapisan plastik pada sandwich dan melahapnya.
Setelah beberapa menit menunggu, sandwich habis dan perutku telah kenyang. Namun, kepala sungguh terasa pegal. Itu karena, selama makan tadi, aku terus menahannya agar tidak menengok ke arah kanan. Tempat sebuah gerbang perumahan terlihat. Perumahan yang ditunjuk si Gadis beberapa jam yang lalu.
Aku merasa begitu heran, mengapa hasrat untuk menengok ke sana terasa begitu kuat? Aku juga merasa kesal. Memangnya apa sih yang sedang kupikirkan? Aku tidak akan memaafkan diri sendiri jika gagal menahan hasrat itu dan bertingkah konyol seperti manusia dalam film-film romansa membosankan.
Untunglah, bus sampai tak lama kemudian. Aku segera memasukinya sambil tersenyum tipis, senang karena berhasil mengalahkan keinginan konyol tadi. Bus pun melaju, membawaku ke sebuah tempat gelap di mana uang beredar dengan sangat cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...