Aku tidak berteriak. Seluruh daya dari tubuhku bagai hilang bersamaan dengan napas sang ketua. Hal yang kusadari selanjutnya adalah bahwa hening yang ada rupanya telah benar-benar tercipta. Bukan hanya di telinga, riuh pertarungan memang berubah senyap. Aku mengangkat kepala dan mendapati seluruh pasang mata yang ada terpaku pada kami. Pada tubuh tak bernyawa Taka dan aku yang merengkuhnya.
Wajah Felix yang kotor oleh darah dan tanah menampakkan keterkejutan dan horor yang luar biasa. Ia mengedarkan pandangan penuh tanda tanya pada sisa pasukannya. Dalam beberapa detik yang singkat, aku sempat menangkap sorot geram dan menuntut jawaban dari mata lelaki itu. Apa yang baru saja terjadi bukan merupakan bagian dari rencana mereka. Sang ketua sendiri tidak tahu tarantula mana yang telah menikam punggung kepala kawanan serigala—tidak ada yang tahu. Dengan gelap malam daerah perbukitan dan ricuhnya perang, satu manusia dapat dengan mudah menyelinap dan menghilang.
Detik selanjutnya, lelaki gesit itu melesat pergi dan diikuti oleh para Blacktula lain.
"Bangsat!" umpat Dante sambil berlari mengejar mereka. Pemuda itu adalah yang pertama tersadar dari keadaan yang masih terasa absurd ini.
"Kejar, anjing! Kejar!" teriak Zul yang masih berdiri tak jauh dari tempatku tersungkur memeluk jasad Taka.
Pasukan si Rapi bergerak cepat dan menghilang di balik gelap malam. Dengan jumlah yang nyaris belum berkurang, mereka akan dengan mudah menangkap para Blacktula yang berlarian.
Kemudian, apa?
Aku tidak mengerti mengapa Gege, yang duduk dalam posisi setengah terkapar beberapa meter di depanku sebagai akibat dari duelnya dengan Felix, terus berteriak dan mengumpat. "Bunuh mereka semua, anjing! Habisi satu per satu di atas tanah ini, sekarang juga! Bangsat!"
Aku bahkan tidak mengerti mengapa suaranya pecah dan menyerupai tangis seorang bocah.
Tubuh dan seluruh inderaku sepenuhnya membeku di tempat. Tidak peduli lagi dengan perang, menang, atau pun mengejar. Taka telah tiada. Tak peduli seberapa hebat bersiasat, takkan ada satu serangan balasan pun yang dapat mengubahnya.
***
Pagi baru sedikit melewati pukul sembilan, namun terik matahari di Taman Pemakaman Sidikara telah membuat tubuhku yang terus bergerak berkeringat hebat. Aku, bersama Dante, Deki, dan beberapa orang kerabat Teh Astri, baru saja selesai membantu proses penguburan hingga ke liang lahat.
"Rai." Kamal mengulurkan tangan untuk membantuku naik ke permukaan tanah.
Aku menerima uluran tangannya dan kembali bergabung dengan barisan Kawani. Satu detik setelah mengedarkan pandangan pada para lelaki muda yang kini telah mengganti jaket serigala mereka dengan setelan rapi berwarna hitam itu, hatiku kembali terasa seperti dihajar pukulan hebat. Membuat memar yang telah ada di sana berdenyut semakin keras.
Suatu bagian dalam otakku sepertinya belum bisa memproses bahwa Taka benar-benar telah tiada. Mataku baru saja secara otomatis mencari sosok Taka di antara Kamal, Rian, dan yang lain. Hanya untuk menyadari dalam detik yang sama bahwa tubuh yang baru saja kugotong dan tinggalkan dua meter di bawah tanah adalah jasadnya.
Acara yang tengah kami hadiri ini, yang kubantu prosesi paling intinya tadi, adalah upacara pemakaman Taka.
Aku menelan ludah. Kuharap otak ini tidak akan lupa lagi. Karena setiap kali kesadaran itu kembali menghantam, sakit yang ada bertambah dua kali lipat.
Kamal membuyarkan lamunanku dengan menyerahkan sebuah handuk kecil dan sebotol air mineral. Saat menerima kedua benda itu, barulah aku menyadari bahwa tubuhku bukan hanya berpeluh, melainkan juga kotor oleh tanah kubur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...