Pergi Tanpa Pamit

197 38 7
                                    

Malam ini, aku terpaksa membatalkan janji dengan Jena demi menghadiri rapat urgensi Kawani. Bahkan, aku harus izin pulang lebih cepat dari kelas Aikido agar dapat sampai di markas tepat waktu. Sebenarnya, wajah sumringah yang gadis itu tunjukan ketika kami bertemu di Kapow tadi sungguh membuatku tak tega. Ia pasti merasa bersemangat tentang rencana kami untuk pergi bermain kembang api setelah latihan usai.

"Oh? Kenapa?" tanya Jena saat aku berkata rencana itu harus tertunda. Biarpun senyum tetap terjaga di wajah gadis itu, aku menangkap kilat kecewa di kedua matanya.

"Saya ada urusan penting," jawabku.

Jena mengangguk-angguk, namun keningnya sedikit berkerut. "Urusan penting," ulangnya.

Ia tetap menatapku selama beberapa saat. Mungkin, seharusnya aku mengarang alasan tentang urusan penting apa yang kumaksud. Namun, aku benar-benar enggan membohonginya lebih banyak lagi.

"Gimana kalau kita perginya Jumat malam aja?" usulku. "Sehabis kelas Aikido yang selanjutnya."

"Jumat, ya?" Lagi-lagi, Jena mengulangi perkataanku.

Aku tahu apa yang dipikirkannya. Masih ada dua hari lagi sebelum Jumat, di mana seharusnya aku bisa menunaikan janji kami. Namun, aku tahu Jena tidak akan menyuarakan keberatannya itu. Jena tidak akan mau memberi kesan seperti gadis penuntut. Setidaknya, aku bertaruh pada perkiraan itu. Karena pergi bersamanya selain pada hari jadwal Aikido berarti aku harus menjemputnya ke rumah, di mana sang ayah mungkin saja akan melihat dan mengenaliku.

Maka, aku mengembuskan napas lega ketika Jena akhirnya mengangguk. "Oke, Jumat kalau gitu."

Senyumnya tetap tulus dan semanis biasa. Namun, itu justru menyiksaku dengan perasaan bersalah. Tak apa. Aku berjanji akan menebusnya Jumat nanti.

"Jangan bilang, rencana kita adalah nerima kesepakatan itu?" Pertanyaan yang Rian lontarkan membuyarkan lamunanku. Pemuda itu tengah menatap Taka dengan tercengang.

Sang ketua baru saja selesai menjelaskan hasil pertemuan dengan Eddi Sustandi kemarin. Sesuai dugaanku, wajah-wajah para Kawani tidak menunjukan rasa bersemangat sama sekali. Sebaliknya, yang terlihat adalah kening-kening yang berlipat dalam.

"Menurut saya, kita jalanin dulu masa percobaan yang tiga bulan itu. Gak ada salahnya dicoba dulu, kan?"

Hening.

"Tak, yakin?" Zul yang pertama membuka mulut. Dokter gadungan itu masih mengenakan gips di lengan kirinya sebagai akibat dari perang di Kabupaten Bandung. "Tiga bulan itu lumayan lama, loh."

"Punten sebelumnya, Tak." Dante ikut bersuara. "Jadi, kita gak akan nyerang ke Barat?"

Alih-alih menjawab, Taka mengedarkan pandangannya pada semua peserta rapat. Baru kemudian, ia kembali berbicara. "Urang apal, pasti kalian semua pengen segera nyerang ke Barat. Urang sangat mengapresiasi, kalian udah bisa menunggu selama lebih dari seminggu sejak penyerangan, karena menghargai suara urang sebagai ketua."

Aku menyadari Taka mengubah kata ganti orang pertamanya dari 'saya' yang biasa ia pakai dalam keadaan formal, menjadi 'urang' yang biasa orang Sunda gunakan dalam perbincangan kasual. Ia ingin para anggota merasakan kedekatan personal dengan dirinya, agar mereka dapat merasa lebih sukarela saat harus menyepakati janji yang ia rancang dengan Eddi Sustandi. Cara halus yang cukup cerdas. Selain aku, mungkin tidak ada yang menyadari maksud di balik pergantian kata ganti tadi.

"Tiga bulan lagi. Itu aja yang urang minta," lanjutnya.

"Taka." Aku akhirnya membuka suara. "Kalau tiga bulan, mungkin bisa. Tapi, gimana dengan setelah masa percobaan? Apa memang mungkin Kawani selamanya terhindar dari tindak kekerasan?"

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang