Si Gadis dan si Gondrong

435 49 17
                                    

Aku benar-benar merasa risih dengan tingkah gadis yang terus menempeliku ini. Ia tetap mencengekeram ujung jaketku, dan kami telah berjalan bersama hingga akhirnya sampai di halte, tempatku tadi turun dari bus kota sebelum berjalan ke toko buku.

Jika bukan karena lelaki berseragam dengan rambut ikal gondrong yang masih mengekori kami tanpa tahu malu, aku pasti sudah melepaskan diri secara paksa dari gadis berplester coklat ini lalu pergi jauh-jauh. Sayangnya, keinginan itu dihalangi oleh naluri melindungi.

Si Gadis menarik tubuhku ke bangku besi, membuatku terpaksa duduk bersisian dengannya. Si Gondrong berdiri dengan jarak sekitar lima meter dari kami. Ia tengah bersandar pada tiang halte sambil memain-mainkan ponselnya, bertingkah seolah-olah dirinya memang penumpang yang sedang menanti angkutan, dan bukannya penguntit gila.

"Itu bus jurusan kita, Sayang!" seru Gadis sambil menunjuk bus yang melaju dari arah kanan.

Nomor yang tertulis di jendela belakang bus itu adalah 02. Sialan! Bus yang seharusnya kutumpangi untuk sampai di rumah kontrakan Tante Reni adalah jurusan 04.

Gadis itu berdiri dan melambaikan tangan untuk menghentikan laju kendaraan itu, lalu menarikku untuk mengikutinya. Untuk sejenak aku tidak bergerak, merasa benar-benar keberatan jika harus menaiki bus yang jelas-jelas tidak akan membawaku pulang itu. Jalanan di kota ini sepenuhnya asing, pasti akan memakan waktu lama untuk mencari tahu arah pulang nantinya. Ditambah, aku harus menumpang kendaraan umum yang belum kuhapal trayeknya, dan bukan Cobra yang dapat membawaku ke mana pun dengan cepat.

Namun, gadis itu menatap langsung ke mataku dengan mata sipit berbola besar hitam itu. Ia memohon tanpa kata-kata. Aku menoleh ke belakang dan mendapati si Gondrong juga tengah berjalan ke arah bus kota yang telah berhenti, jelas-jelas belum berniat menghentikan aksi menguntitnya.

Aku menghela napas dalam-dalam, lalu berdiri dan akhirnya mengikuti langkah si Gadis. Ia masuk terlebih dahulu ke pintu bus, dengan aku mengekor tepat di belakangnya. Saat berada di muka pintu, alih-alih terus masuk dan mencari bangku kosong, aku berbalik ke arah si Gondrong.

"Naik bus lain aja," perintahku dingin.

"Lah, saha maneh¹ ngatur-ngatur? Ini kendaraan umum, Bos!"

"Tunggu bus lainnya datang lagi aja, gak akan lama. Kami terganggu kalau kamu ikut naik."

"Naik, Kang! Masih banyak bangku kosong!" Sopir bus kota itu berseru pada si Gondrong, membuatnya tersenyum tengil sambil berusaha menerobos tubuhku yang menghalangi muka pintu.

Aku berbalik sambil masih menutup jalannya, lalu mengeluarkan selembar uang kertas merah dari dalam dompet dan memberikannya pada si sopir. "Saya bayar semua bangku yang kosong, Pak. Bisa jalan sekarang?"

Mata si Sopir membulat lalu mulutnya menyengir lebar. "Siaaap!" Ia lalu menekan tombol dan pintu bus pun tertutup.

Terlihat si Gondrong mencak-mencak sambil menunjuk-nunjuk ke arahku, tapi suaranya tak lagi terdengar.

Bus mulai melaju, dan aku berbalik untuk mulai mencari tempat duduk. Rupanya, si Gadis masih berdiri di belakangku sejak tadi. Sebuah hal yang konyol, menurutku. Ia bisa saja segera duduk, toh sejak tadi si Gondrong terhalang olehku di pintu bus.

Ia lalu mengambil posisi di samping jendela, aku duduk di sampingnya sebagai bentuk perlindungan terakhir. Bus masih melaju lambat dan si Gondrong masih berdiri di tempat yang sama, melongok-longokan kepalanya untuk melihat kami.

Kami duduk dalam keheningan. Ia menatap ke luar jendela, aku memandang lurus ke depan, merutuki nasib sial hari ini.

Tiba-tiba, sebuah cokelat batangan berbentuk segitiga panjang disodorkan ke hadapanku. Tidak seperti banyak lainnya yang mudah dibaca, manusia yang satu ini banyak membuatku terkejut. Aku menoleh dan menatap gadis yang sekarang tertunduk itu dengan pandangan bertanya.

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang