Keesokan paginya, Tante Reni yang tengah berjemur di depan pagar bersama Darwan, memanggilku saat sedang menuruni tangga kontrakan untuk pergi ke sekolah.
Wanita itu terlihat berseri. Mungkin, tidak seperti aku, ia merindukan kakak lelakinya itu. "Kemarin kamu ke mana, Rai? Tante ajak ayahmu jalan-jalan, seru banget. Sama Rayi dan Raka juga."
"Kemarin ada urusan, Tante," jawabku asal. "Di sekolah."
"Sekolah jaman sekarang emang aneh, Ren. Masa' hari Minggu juga ada kegiatan." Darwan menggerutu. Aku tahu ia tengah mengikuti kebohonganku. Mungkin, karena merasa malu pada adiknya atas hubungan kami yang buruk.
Aku hanya tersenyum kaku. "Pergi dulu ya, Tan." Sebelum melajukan Cobra, aku menyalami tangan Tante Reni, lalu mau tak mau tangan Darwan juga.
"Hati-hati!" seru mereka bersamaan.
***
"Maneh masih gak enak badan, Rai?" tanya Deki saat kami tengah melahap makan siang di kantin.
Sama seperti aku, baik Deki, Dante mau pun Kamal telihat belum sepenuhnya pulih dari perginya Taka. Bahkan, ternyata di antara kami berempat, hanya Deki yang tidak membolos di hari Jumat. Hari ini pun kami jalani dengan fokus yang melayang-layang. Semuanya terasa tidak nyata. Mengikuti kelas, ulangan harian, pergi ke kantin untuk makan siang. Sementara, Taka telah tiada.
Namun, dengan Jena yang belum berhasil kutemui hingga detik ini, jelas sikap murungku adalah yang yang paling parah hingga mengundang perhatian mereka. Bahkan belasan juta rupiah yang kudapatkan di Phantom semalam tidak berhasil memperbaiki suasana hati sedikit pun.
Deki hanya mengangkat bahu, lalu mengganti topik pembicaraan. "Kalian udah pada tahu, Blacktula udah dilepasin semua?"
Dante dan Kamal menghentikan gerakan mereka menyuap mie ayam.
"Yang bener, anjing?" Dante yang pertama bersuara.
Deki mengangguk. "Si Gege dapet info dari temen reporternya."
Mereka lalu sibuk membahas berita terbaru itu, berbisik-bisik dengan nada penuh emosi. Aku tidak tergugah untuk masuk ke dalam percakapan sama sekali. Bagiku hal itu sudah jelas. Felix atau salah satu dari antek-anteknya pasti memiliki seorang koneksi di kepolisian. Ini adalah Sidikara. Tempat di mana geng motor, preman, dan mafia berkuasa lebih dari pihak berwenang resmi. Ditambah lagi, kepolisian tidak memiliki saksi mau pun bukti yang kuat. Memangnya, apa yang kau harapkan? Mengurung semua laba-laba itu selama-lamanya?
"Maneh bener-bener gak inget mukanya, Rai?" Kamal merujuk pada si penikam yang kulihat di belakang tubuh roboh Taka.
Aku hanya menggeleng. Membahas hal itu membuatku merasa sesak. Tidakkah mereka pernah merasa lelah?
Syukurlah, Dante lalu mengganti topik pembicaraan dengan menunjukkan sesuatu di ponselnya. "Eh, lihat, ada update baru."
Kamal dan Deki sibuk merebut ponsel itu lalu kompak bersiul saat melihat layarnya.
"Edan nya," komentar Kamal. "Parah geulisna kalau pakai baju formal gini."
Deki mengangguk-angguk. "Sayang belum pernah ada yang dapet foto dia pakai baju rumahan ya."
"Susah atuh," timpal Dante sambil mengambil alih kembali ponsel dan meneruskan aktifitas meng-scroll-nya di sana. "Siapa juga yang bisa masuk ke rumah Eddi Sustandi."
Aku, yang sedari tadi terus menyuap mie ayam tanpa benar-benar mendengarkan percakapan mereka, seketika menoleh begitu mendengar disebutnya nama sang wali kota. Tahu gambar siapa yang rupanya baru saja dikagumi ketiga serigala itu, aku menoleh pada Dante. "Coba lihat, Dan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...