Kenangan tentang suatu Sabtu sore di masa lampau itu terus berkelebat saat aku berjalan gontai menuju ruangan dokter spesialis paru di sebuah rumah sakit di perbatasan Kota Sidikara dan Cilegon. Itu terjadi begitu saja, aku bukan mengenangnya dengan sengaja. Setelah bertahun-tahun saling menyakiti, aku hampir lupa bahwa Darwan pernah menjadi sosok yang berarti. Bahwa sebagai ayah, ia pernah benar-benar hadir.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku selalu ingat. Hanya, mencoba untuk lupa. Mengingat versi itu dari dirinya akan membuatku terlalu sakit saat harus berhadapan langsung dengan versinya yang lain. Yang tidak pernah lagi tertawa sambil mengacak rambutku yang berbau matahari, atau meniupi lukaku untuk mengurangi rasa sakit. Darwan yang satu itu, yang kucoba lupakan dan kusimpan jauh-jauh di alam bawah sadar itu, telah dirampas oleh cairan laknat yang teramat ia cintai dan mungkin tak akan pernah kembali.
Itulah mengapa aku berusaha sebisa mungkin untuk membenci sekaligus menyakiti Darwan baru yang menggantikannya. Pada usia tiga belas tahun, saat aku dipaksa oleh keadaan untuk meratapi kepergian Ibu dan Arla seorang diri, aku sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Darwan tidak akan bisa menyakitiku bila aku yang menyakitinya lebih dulu. Aku tak perlu merasa sakit karena sikap abainya, jika aku yang mengabaikannya lebih dulu.
Itu berlanjut hingga kini. Dengan cara itu, aku merasa aman, terlindungi, dan enggan mengubahnya lagi. Maka, saat satu jam lalu menerima kabar dari pihak rumah sakit, aku merasa kosong. Lebih tepatnya, bingung, tentang rasa apa yang seharusnya kurasa.
Akhirnya, aku dan seorang perawat yang mengantarku tiba di depan ruangan yang kami tuju. Ia membukakan pintu dan aku masuk setelah mengucapkan terima kasih, sambil masih menggenggam berkas-berkas yang harus ditandatangani sebagai persetujuan dilakukannya suatu operasi besar pada Darwan. Perawat itu sendiri tidak menjelaskan banyak hal selain garis besar dari kecelakaan.
Rupanya, kereta Argo Wilis menuju Surabaya itu tergelincir keluar dari jalur tak lama setelah melaju dari Stasiun Sidikara. Itu menjelaskan mengapa para korban luka-luka dilarikan ke rumah sakit ini. Darwan adalah penumpang gerbong pertama—yang mengalami kerusakan paling parah. Bahkan, puluhan penumpang dalam gerbong itu menjadi korban nyawa.
Penjelasan itu sukses membuatku bergidik. Sedikit garis takdir yang berbeda saja, aku mungkin telah menjadi seorang yatim piatu. Biarpun pada dasarnya telah hidup sendiri sejak beberapa tahun yang lalu, aku selalu tahu aku masih memiliki sosok Darwan biarpun kehadirannya hanya sebatas raga.
"Selamat sore." Dokter dengan rambut sudah putih sebagian yang duduk di balik meja menyapa, membuyarkan pikiranku yang melayang-layang. "Silakan duduk."
Aku duduk di kursi di hadapan mejanya. "Dok, gimana keadaan pasien sekarang?"
Kemudian, ia menjelaskan. Kecelakaan itu menyebabkan Darwan menderita luka bakar di sebagian besar tubuh bagian bawah, dan beberapa patah tulang. Kedua luka itu akan dapat ditangani dengan mudah. Namun, tidak begitu dengan kondisi lainnya yang tergolong lebih berat.
"Tiga dari dua belas tulang rusuk pasien mengalami patah yang menjorok ke bagian dalam. Dugaan saya, itu terjadi karena beliau terbentur bongkahan material kereta di bagian dada." Dokter itu memutar layar monitor di meja kerjanya hingga aku dapat melihat foto rontgen bagian dalam dada Darwan dengan tulang-tulang runcing yang terlihat... mengerikan.
"Seperti yang bisa Anda lihat, dua patahan itu mengenai paru-paru pasien dan menyebabkan kebocoran. Untuk memperbaikinya, perlu dilakukan operasi besar yang melibatkan tiga ahli bedah berbeda. Dengan kondisi pasien yang juga lemah karena luka-luka lainnya, kami tidak bisa menjamin keberhasilan operasi itu." Ia berhenti sejenak. "Malah, sebaliknya, resikonya cukup tinggi. Tim ahli bedah kami akan melakukan yang terbaik, tetapi tidak sampai Anda memberi keputusan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...