Teknik-teknik Aikido yang kupelajari demi tujuan ini rupanya cukup berguna. Tubuhku terasa begitu ringan ketika melompat, melesak, menghindar, dan tentu saja menghajar. Fokusku hanya satu—menarik dan menjatuhkan sebanyak mungkin Blacktula yang mengerubungi Kawani.
"Arai!" teriak Kamal yang tengah menangani dua Blacktula sekaligus. "Rai, si Dante, Rai!"
Aku berpaling dari pemuda yang tengah kupelintir lengannya di bagian punggung dan mencari-cari sosok Dante seperti instruksi Kamal. Ternyata, ia sedang menelungkup ke aspal, tiga orang menyerang punggungnya dengan tongkat baseball dan tendangan-tendangan tanpa jeda.
Aku segera melumpuhkan Blacktula di tanganku lalu berlari ke arah Dante. Keadaan benar-benar telah kacau balau. Hampir setengah dari rombongan Kawani telah terkapar. Sisanya mencoba melawan, meski dengan jumlah yang jelas tak seimbang.
"Kayak gini serigala tertua Sidikara?" Sebuah suara dengan nada mencemooh membuatku menengok. "Lebih cocok disebut anjing kampung!"
Seorang Blacktula bertubuh kecil yang—tidak seperti yang lainnya—telah membuka helm sehingga wajahnya jelas terlihat, tengah mencengkeram kerah jaket Taka lalu meninju perut lelaki itu berkali-kali. Taka sepertinya sudah nyaris ambruk. Bagaimana tidak, sejak serangan dimulai, ialah yang selalu menjadi target utama. Sementara, selama menerima pukulan demi pukulan, lelaki itu tidak bisa mengerahkan segenap kemampuannya untuk balas menyerang. Fokusnya terpecah antara pertarungan yang tengah berlangsung dan melindungi Teh Astri.
Lawan tarung Taka itu masih membelalak liar dengan sorot mata yang mengerikan. Gerakannya sangat lincah dan tangkas, dengan kekuatan pukulan yang sepertinya tidak sesuai dengan tubuh kecilnya. Aku ingin berhenti dan membantu Taka, namun, lelaki itu terlihat masih bisa berupaya menangkis dan membalas. Tidak seperti Dante yang sepenuhnya menelungkup tak berdaya dengan kepungan tiga laba-laba.
Aku menarik bahu salah seorang penyerang Dante, lalu meninju keras bagian di antara bahu dan lehernya saat ia berbalik. Seorang penyerang lainnya berbalik dan menyerangku. Aku jatuh terjerembab akibat tendangannya di betis. Kemudian, sambil berdiri tepat di depan kepalaku, ia menginjak punggungku hingga terasa sesak dan sakit yang teramat sangat dalam waktu yang bersamaan.
"Enak? Mampus!" sumpahnya sambil terus menekan punggungku dengan tumit sepatu.
Aku menggerakkan tangan. Tidak ada apa pun yang bisa kugapai selain pasir dan kerikil dari jalan berlubang. Namun, bukan berarti kedua hal itu tak bisa kumanfaatkan. Susah payah, aku meraih kaki penyerangku. Setelah berhasil menggenggam pergelangan kakinya dengan tangan kanan, aku menariknya sekuat tenaga. Si penyerang kehilangan keseimbangan dan mau tak mau mengangkat kakinya dari atas punggungku untuk membantu bertumpu.
Lalu, sambil bangkit berdiri, kulemparkan segenggam pasir dan kerikil ke matanya yang tidak tertutup oleh kaca helm.
"Anjing!" Ia mengumpat sambil menutup mata dengan kedua tangan.
Aku berbalik dan tertatih untuk kembali membantu Dante dari penyerang terakhirnya. Namun, dengan lawan yang hanya tinggal satu orang, rupanya ia telah berhasil berdiri dan berbalik untuk melawan. Di aspal yang tadi tertutupi tubuhnya yang menelungkup, meringkuk sang kekasih dengan lutut yang berdarah dan air mata di pipi. Rupanya, sedari tadi Dante rela menerima pukulan dan tendangan bertubi-tubi di punggung demi melindungi Ayu.
Aku mengulurkan tangan untuk membantu Ayu bangkit lalu mengantar gadis yang terus menangis itu ke pinggir jalan yang aman, tempat tiga gadis lain yang tidak kuingat namanya tengah menyaksikan perkelahian kekasih mereka dengan wajah penuh horor. Lalu, aku kembali ke tengah untuk membawa Teh Astri ke tempat yang sama.
Taka masih melakukan satu lawan satu dengan si Blacktula lincah. Sesuatu pada dirinya membuatku yakin bahwa yang tengah terjadi bukan serangan perihal daerah kekuasaan yang biasa. Melainkan, sesuatu yang lebih dalam, lebih mengandung dendam. Namun, apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...