Firasat dan Kebohongan

245 38 7
                                    

"Baik, untuk pembayarannya di sebelah sini ya, Mas." Si resepsionis berdiri dan mengajakku kembali ke mejanya sambil menggenggam formulir pendaftaran yang baru saja kububuhi tanda tangan.

Aku mengikuti sambil membuka tas sekolahku untuk mengeluarkan dompet, bersiap melakukan pembayaran. Saat itulah, terdengar derap langkah kaki yang mendekat. Aku menoleh dan mendapati Jenaka, dengan wajah berkeringat dan rambut ekor kuda yang tak lagi rapi, tengah berlari ke arahku.

"Hei," sapanya dengan napas terengah-engah, "Arai."

Entah mengapa mendengarnya menyebut namaku menimbulkan gelenyar aneh di dalam dada. "Hai."

"Udah selesai daftarnya?"

"Ini tinggal bayar."

"Oh," jawabnya singkat.

Kami bertatapan selama beberapa detik tanpa saling mengucapkan apa pun. Mungkin ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Tetapi, apa pun itu, aku tidak akan tahu jika ia hanya berdiri di sana sambil menggigit-gigit bibir seperti itu, bukan?

Saat itulah si resepsionis yang sedari tadi mengetikkan dataku pada laptopnya menegakkan kepala. "Silakan, Mas Arai." Ia menunjuk sebuah kertas di meja tersebut. "Ini totalnya. Mau cash atau card, Mas?"

Aku akhirnya mengalihkan pandangan dari Jenaka. "Card aja, Mbak."

Sementara, Jenaka terlihat menggaruk kepalanya yang berkeringat sambil tersenyum kikuk. "Ya udah, aku latihan lagi ya, Arai. Sekali lagi, makasih banyak dan maaf udah ngerepotin."

Aku mengangguk. "Santai."

Ia tersenyum seraya mengangkat sebelah untuk melambai pelan. "Sampai ketemu lagi." Kemudian, gadis itu berlari kecil kembali ke area tarung, membuat ekor kudanya bergoyang pelan ke kanan dan kiri.

Sepeninggalannya, aku kembali berbalik sambil mengeluarkan salah satu kartu yang tersemat di dalam dompet kecilku.

Ternyata, resepsionis itu sedang menatapku sambil mengulum senyum. "Wow."

Aku mengangkat alis. "Wow kenapa, Mbak?"

"Eh, sorry sorry, Mas." Puri tertawa kecil. "Saya baru pertama aja lihat Jena kayak gitu."

Aku hanya merespons dengan senyum singkat dan memberikan kartuku padanya.

Setelah selesai melakukan pembayaran, aku pamit pulang. Bunyi berkerubuk yang muncul dari perut membuatku tersadar bahwa selain beberapa keping keripik singkong di markas Kawani, makanan terakhir yang masuk ke perutku adalah semangkuk mie ayam di kantin sekolah.

Maka, aku batal melajukan Cobra ke jalan besar dan membelokkan motor itu ke warung ramen yang terletak beberapa blok di samping Kapow. Restoran kecil tersebut terlihat ramai, dan aku biasanya menghindari keramaian. Namun, bunyi yang keluar dari perutku semakin keras. Sepertinya, duduk sendirian di tengah keramaian demi semangkuk ramen hangat yang nikmat tidak akan seburuk pulang ke kontrakan dengan perut kelaparan.

"Selamat malam, Kakak," sapa seorang pelayan di muka pintu. "Ini lagi ramai, jadi untuk makanannya harus nunggu dulu. Gak apa-apa, Kak?"

"Oh, gak apa-apa," jawabku. Bukan masalah besar. Malah sebetulnya, bagus juga. Sambil menunggu, aku dapat duduk tanpa gangguan selama beberapa waktu untuk mem-browsing tentang Aikido—hal yang tadinya sudah kurencanakan akan kulakukan sesampainya di kontrakan nanti.

Sang pelayan mengangguk dan memberi isyarat padaku untuk mengikutinya ke arah dalam. "Untuk berapa orang, Kak?"

"Satu."

Beberapa saat kemudian, aku telah duduk di sebuah set kursi meja kecil. Meja persegi di hadapanku sepertinya adalah meja kosong terakhir, terbukti dari jendela bertirai kain merah ala Jepang di samping mejaku, terlihat antrian waiting list telah terbentuk. Beberapa orang yang datang lebih dulu dariku bahkan rela menunggu karena mereka datang berkelompok dan membutuhkan set meja yang lebih besar dari yang kududuki sekarang.

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang