Bahkan ketika kedua mata masih terpejam, aku dapat merasakan cahaya terang di sekelilingku. Aku membuka mata dan dihadapkan pada pemandangan kamar inap rumah sakit. Setelah pengalaman di antara hidup dan mati semalam, tentu saja hal itu telah kuduga sejak pertama kali tersadar beberapa detik yang lalu. Aku hanya berharap ini adalah rumah sakit yang sama dengan tempat Darwan tengah dirawat, agar dapat langsung mengunjungi kamar lelaki itu begitu tubuhku membaik nanti.
Di sampingku, seseorang tengah duduk sambil menelungkupkan kepala ke sisi ranjang. Dilihat dari potongan rambut dan postur tubuhnya, sepertinya ia adalah Rian. Aku ingat sempat melihatnya dan Dante di tepi tebing beberapa saat sebelum Jena menghambur ke pelukanku.
Jena. Meski tidak berharap gadis itu terus menungguiku di rumah sakit setelah malam yang tentu juga melelahkan baginya, dengan egoisnya hatiku tetap merasa sedikit kecewa karena bukan dirinya yang ada ketika aku pertama membuka mata. Menatap ke dalam kedua matanya dan memastikan bahwa aku masih memiliki kesempatan adalah hal yang paling ingin kulakukan saat ini.
Tenggorokanku terasa sangat kering. Perlahan aku bangkit untuk duduk dan meraih gelas berisi air putih di meja samping ranjang. Pergerakan itu membuat lelaki yang menungguiku seketika menegakkan tubuh. Ternyata ia memang Rian. Pemuda itu menatapku dengan mata setengah terbuka dan raut wajah mengantuk yang menggelikan. Ia menggosok kedua matanya.
"Akhirnya bangun juga maneh!" Rian menegakkan tubuh lalu mendorong pundakku pelan.
Aku hanya terkekeh lalu meneguk isi gelas sampai habis.
"Jangan lagi-lagi kikituan, Rai. Gila! Kita semua ngira maneh udah lewat."
"Hampir, Yan," jawabku sambil tersenyum kecil. "Kalau gak ada papan yang nyangkut di batang pohon, mungkin udah beneran lewat."
Raut wajah berubah serius. Ia menatapku selama beberapa saat, lalu mengusap wajahnya kasar. "Urang gak tahu gimana cara yang pantes buat minta maaf sama maneh, Rai. Kalau sampai... keadaannya lain, sampai mati pun urang gak akan bisa maafin diri sendiri."
Aku hampir lupa bahwa Rianlah yang mengayunkan papan itu, dengan maksud untuk menyerang seorang Blacktula. Sebelum ia mengungkitnya tadi, aku bahkan tidak menganggap fakta itu sebagai sesuatu yang relevan. Aku selalu menganggap terjatuhnya aku dan Felix ke sungai sebagai suatu kesialan perang yang terjadi secara insidental, sama sekali bukan sebuah kesalahan personal.
"Rai, urang bakal bayar biaya rumah sakit maneh dan Felix. Pokoknya gimanapun—"
"Yan," potongku.
"...caranya, urang bakal—"
"Yan." Aku memotong sekali lagi, lebih tegas kali ini. "Santai. Gak usah pikirin biaya rumah sakit, ada asuransi." Aku berbohong, tahu Rian akan bersikeras jika tidak demikian. "Soal Felix, ngobrol sama dia aja langsung. Tapi kalau saya, aman, Yan. Semua aman."
Rian masih terlihat gusar. "Urang bener-bener minta maaf, Rai."
"Iya, dimaafin." Aku tersenyum menenangkan, lalu mengalihkan pembicaraan. "Btw, ini di rumah sakit mana?"
Rian membuatku lega dengan menyebutkan nama yang rupanya memang sama dengan rumah sakit di perbatasan Sidikara - Cilegon tempat Darwan dilarikan setelah kecelakaan kereta. "Tempat maneh ditemuin lebih deket ke sini daripada rumah sakit di pusat kota."
Seorang perawat memotong pembicaraan kami dengan datang membawa senampan santap siang. Ia lalu memeriksa keadaanku dan menginfokan jadwal kunjungan dokter. Sepeninggalannya, aku meminta Rian untuk mengantarku ke kamar Darwan dirawat. Tubuh ini masih terasa lemas, namun saat ini lelaki itu pasti sudah bangun dari tidurnya. Dan aku tidak ia berbaring seorang diri lebih lama lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...