Entah sudah berapa kali kuputar ulang adegan demi adegan yang kami lakukan pada Sabtu malam kemarin di dalam kepala. Satu hal yang kusesali adalah, aku lupa menanyakan nomor ponselnya. Setelah apa yang kami lalui bersama, seharusnya itu adalah hal yang pantas untuk dilakukan, bukan? Namun, aku terlalu menikmati waktu yang kuhabiskan bersama Jena, sehingga tak sempat memikirkan hal-hal lain. Tak apa, aku berjanji akan melakukannya Selasa nanti.
Aku tidak pernah menyangka akan pernah merasakan perasaan seperti ini. Selama menyelesaikan ujian Aikido keesokan harinya—tidak lolos, tentu—sampai kami kembali ke Sidikara dan hari berganti menjadi Senin, pikiranku terus tertuju pada Jena.
Belum lagi, pada jam istirahat tadi, Taka menelepon untuk mengajakku menemaninya dalam janji temu dengan Eddi Sustandi yang akhirnya berhasil ia dapatkan. Pemikiran tentang bertemu langsung dengan ayah dari gadis itu membuat perasaanku semakin tak karuan. Meski, tentu saja aku akan datang sebagai panglima tempur Kawani, dan bukannya lelaki yang dikenal putri semata wayangnya.
Aku menghentikan laju Cobra di depan rumah mungil berwarna putih dengan pagar kayu natural yang tampak hangat karena tersiram cahaya matahari senja. Setelah menyamakan nomor rumah yang menempel ditemboknya dengan alamat yang Taka kirimkan melalui fitur kirim lokasi di WhatsApp tiga puluh menit yang lalu, aku menekan bel
Rencana awal kami adalah bertemu langsung di Balai Kota setelah jam pulang sekolah. Namun, di menit-menit terakhir, Taka tiba-tiba saja mengirim pesan yang memintaku menjemput terlebih dulu ke rumahnya ini.
Teh Astrilah yang muncul dan membuka pagar. Ia tampak berbeda tanpa kerudung yang menutupi kepalanya. Rambutnya pendek di atas bahu dan diwarnai coklat kepirangan.
"Hei, Rai," sapanya. Lalu, saat melihat seragam dan tas sekolah di punggungku, ia menambahkan, "Waduh, dari sekolah langsung ke sini?"
"Iya, Teh," jawabku sambil membuka helm dan turun dari Cobra. "Takanya udah siap?"
"Tinggal ganti baju doang dia." Teh Astri menggiringku memasuki rumah. "Hayu atuh masuk dulu aja. Mau minum apa?"
"Gak usah repot-repot, Teh."
Bagian dalam rumah itu pun tampak menyenangkan walau beberapa mainan anak tersebar di sana-sini. Taka dan anak lelakinya tengah duduk di karpet, di antara potongan-potongan puzzle binatang yang tersebar. Tanpa kaki palsu menempel di lututnya dan luka jahit jejak perang minggu lalu, Taka tampak berbeda walau tidak kehilangan wibawanya sedikit pun.
"Eh, Rai. Cepet gening?" Taka menoleh padaku, begitupun si kecil di sampingnya. "Bentar ya, urang siap-siap dulu. Sementara, tunggu sama Kale dulu gak apa-apa?"
Balita seperti Kale tidak akan menuntut banyak percakapan. Maka, aku tidak merasa keberatan. Taka pun bangkit dan masuk ke pintu kamar dengan bantuan sepasang tongkat.
"Om." Anak yang merupakan miniatur Taka itu menyapa dengan suara imutnya.
"Hai," jawabku. "Kamu namanya siapa?"
"Aye."
"Salam kenal, Aye."
Aku lalu membantunya menyusun sebuah puzzle dinosaurus, meski tidak tuntas karena Kale malah beralih pada tumpukan balok mainan dan mengajakku membangun sebuah roket.
"Gimana ujian di Trisakti kemarin? Lulus?" tanya Taka saat ia muncul kembali dari pintu kamarnya beberapa menit kemudian.
"Enggak," jawabku sambil terkekeh.
Taka ikut tertawa kecil. "Ya namanya juga baru gabung kan. Saya dulu ikut Te-Do² di Kapow. Lumayan lama, sampai..." Ia menepuk lututnya yang buntung sebagai isyarat akan kejadian yang menyebabkannya harus kehilangan sebelah kaki. "... Yah, mau gak mau harus berhenti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...