Jen dengan Plester Coklat

520 59 37
                                    

"Terima kasih banyak, Pak."

Aku berujar pada petugas operator listrik yang mudah diajak bekerjasama tadi, lalu berjalan menuju ke pintu utama tempat si lelaki berkaus hitam tengah disudutkan oleh pengejarnya. Ia terlihat masih berusaha kabur, tapi pengejarnya dengan cepat mencekal.

"Maneh geus moal bisa kamamana!¹" Lelaki yang sepertinya berumur akhir dua puluhan itu berseru dalam Bahasa Sunda. Walaupun tidak memahami artinya, aku bisa menebak ia bermaksud menegaskan bahwa pencuri itu tidak bisa lari lagi.

Terbentuk kerumunan mengelilingi mereka. Aku sungguh merasa muak. Manusia selalu ingin tahu bila ada keributan, tetapi pura-pura tidak melihat saat manusia lain berada dalam kesulitan. Seperti kejadian tadi, misalnya. Tidak ada satu pun yang membantuku dan lelaki itu mengejar si pencuri dompet.

Aku menyelinap di antara kerumunan itu hingga mencapai tempat di samping mereka.

"Ikut aing² ke kantor keamanan sekarang! Mereka pasti tahu gimana cara nanganin copet macem maneh!" Lelaki itu menarik kaus hitam si pencuri hingga ia terhuyung-huyung mengikuti.

"Tunggu!" potongku sambil menengahi mereka, lalu menunjuk si pencuri. "Dia bukan copet."

"Hah?" tanya lelaki itu heran. "Tadi, kan udah jelas—"

Aku berpaling pada si pencuri tanpa menunggu lelaki itu menyelesaikan kalimatnya. "Maneh bukan copet, kan?" Sengaja aku menggunakan sebutan Bahasa Sunda itu.

Pencuri berkaus hitam itu terlihat gelagapan. Kedua matanya bergerak-gerak panik.

"Copet biasa gak akan ngebuntutin korbannya sampai sejauh itu. Padahal, jarak di antara kalian udah cukup dekat. Dompet itu udah bisa diambil dari lama." Aku melanjutkan.

"Maksudnya apa?" tanya si suami dengan heran.

"Saya copet, sumpah!" Pencuri itu yang menjawab pertanyaannya.

"Mana ada copet ngaku!" tudingku, berusaha berbicara dengan logat mereka.

Pencuri itu merogoh dompet ungu tadi dari dalam saku lalu segera menyerahkannya pada si pengejar. "Ini saya balikin. Hampura, Kang. Saya moal nyopet deui.³"

Sepertinya ia bersikeras bahwa dirinya adalah copet dan berusaha menyelesaikan masalah secepat mungkin. Aku semakin tergelitik rasa penasaran.

"Emang copet dari area mana? Kok kita gak pernah ketemu di markas?" tembakku spontan, lalu mengeluarkan ponsel dari kantong sweater hoodie. "Coba aing tanya ke barudak, nama maneh siapa?"

Mendengar itu, wajah si pencuri berubah pucat pasi. Aku masih memasang ekspresi serius sambil memegang ponsel, seolah menanti ia menyebutkan nama. Yang mana kutahu pasti tidak akan terjadi.

Setelah satu menit berlalu, aku memasukkan kembali ponsel ke dalam kantung, lalu mengeluarkan sebuah kartu As dari sana—dompet coklat kecil yang kuambil dari saku celana si pencuri ketika bergulat dengannya tadi, sesaat sebelum ia menendang perutku dengan lutut lalu berlari.

Ia terlihat terkejut dan semakin pucat. Lelaki yang satunya, si pengejar, tak kalah terperangah.

"Copet tuh kayak gini!" tandasku sambil mengacungkannya pada si pencuri, lalu melempar dompet itu pada si pengejar. "Barangkali ada informasi tentang orang yang ngaku-ngaku copet ini."

Ia menangkap dompet yang kulempar sambil masih terperangah, lalu membuka dompet itu, mengeluarkan beberapa kartu dari dalamnya.

Saat perhatian masing-masing dari kami tersita oleh kartu-kartu itulah, si pencuri melarikan diri. Pintu utama stasiun masih tertutup karena daya yang mati, tetapi ia menerobos kerumunan dan berlari kembali ke area dalam gedung stasiun, mungkin berniat kabur melalui pintu samping.

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang