Sidikara, Hari Pertama

703 59 31
                                    

Panas, pengap.

Asap yang memenuhi ruangan terasa perih menusuk mata. Tubuhku basah dibanjiri keringat. Terdengar suara Darwan berteriak memanggil namaku dari arah luar. Aku turun dari ranjang dan segera melompat, terkejut karena lantai terasa begitu panas, seperti dapat melelehkan telapak kaki yang menginjaknya.

"Arai! Cepat keluar!" Suara lelaki itu kembali terdengar.

Aku melompat-lompat secepat mungkin di atas lantai yang terasa seperti bara api itu untuk menuju ke balkon di luar kamar. Sebelum memegang gagang pintu, terlebih dahulu kulapisi tangan dengan kaus yang menggantung di gantungan baju, karena tahu gagang pintu berbahan stainless itu pasti akan terasa lebih panas daripada lantai granit di bawah kakiku.

Darwan membantuku turun melalui pohon mangga yang tepat berada di depan balkon kamar. Aku sempat merasa heran karena tubuh ini terasa ringan, seolah kehilangan sepuluh kilogram berat badan—aku dapat menuruni pohon mangga ini dengan mudah.

Sesampainya di tanah halaman, penuh horor, aku menyaksikan seluruh bagian lantai satu rumah telah habis dimakan si jago merah. Tunggu, Ibu dan Arla pasti masih ada di dalam! Kamar mereka ada di lantai satu.

Tapi, bukankah mereka memang... sudah meninggal?

Aku berlari ke arah bagian rumah yang telah dipenuhi api dan berhenti di mukanya. Terlihat Arla, gadis kecil berusia sepuluh tahun yang adalah adikku tersayang, berjalan menghampiri bersama Ibu yang mengekor di belakangnya. Seluruh tubuh mereka dipenuhi api, dengan wajah meleleh yang mengerikan.

"Kakak, tolong aku, Kak...." panggilnya pilu.

Aku berbalik pada Darwan, dan terkejut mendapati lelaki itu malah duduk bersila di rumput sambil menenggak minuman keras langsung dari botolnya. Di sampingnya, beberapa botol kosong terlihat berserakan.

"Hei, bantu keluarin mereka! Lakukan sesuatu!" seruku.

"Jangan ganggu aku! Pergi saja sana, ke Sidikara!"

Dengan frustasi, aku berbalik kembali dan mulai berlari masuk ke dalam rumah, menerobos api, merasakan panas itu menjilati piyama dan seluruh jengkal kulit di baliknya.

"Ibu, jangan dulu pergi! Tunggu Arai, Bu!" Aku berseru. Mati bersama mereka akan lebih baik daripada hidup dengan lelaki pemabuk itu.

"Silakan, ini bantal tambahannya, Bu."

Suara merdu seorang wanita tiba-tiba terdengar, bersamaan dengan membuyarnya ruangan penuh api itu.

Aku segera membuka mata. Lalu, selama beberapa saat merasa asing dengan ruangan panjang bercahaya remang dan deretan bangku berwarna abu-biru yang saling berhadapan yang ada. Aku lalu merasakan getaran pelan. Rupanya, aku tengah berada di dalam gerbong kereta. Kesadaranku mulai kembali. Benar, aku sedang dalam perjalanan ke Sidikara untuk mengikuti saran yang dilayangkan Darwan minggu lalu.

Suara merdu tadi rupanya milik seorang prami—pramugari kereta api jarak jauh—yang baru saja mengantarkan bantal tambahan untuk penumpang di sampingku. Melihatku terbangun, ia memberi senyum profesional kemudian berlalu.

Aku membuka tirai jendela di samping kananku dan dihadapkan pada pemandangan malam yang terus berganti cepat. Arloji yang melingkar di tangan menunjukkan pukul tiga dini hari. Masih tersisa empat jam lagi hingga estimasi waktu ketibaan di Stasiun Sidikara.

Aku menenggak air mineral sambil memikirkan mimpi tadi. Mimpi yang aneh, dengan adegan pertama yang persis merupakan kenangan akan apa yang terjadi tiga tahun lalu, tapi diakhiri kejanggalan-kejanggalan yang membuatku merinding saat mengingatnya.

Ibu dan Arla tidak pernah terlihat di dalam bangunan yang dipenuhi api itu—mereka tewas di kamar tidur. Sementara Darwan, tentu saja tidak lantas menenggak minuman di atas rumput. Saat itu, ia masih seorang ayah yang waras, walaupun memang memiliki kebiasaan buruk minum-minum sesekali di waktu senggang.

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang