Sebuah Lelucon Besar

186 38 4
                                    

01:30
9 Januari 2023
Malam aku kehilangan Jenaka

Angin malam yang menerpa tetap terasa menusuk tulang meski aku mengenakan jaket kulit yang cukup tebal. Sejak keluar dari area parkir rumah sakit, Cobra melaju seolah hendak menyaingi arus udara.

Di kepalaku, tidak ada rencana tentang bagaimana malam ini akan berakhir. Kepala yang biasanya selalu dipenuhi siasat ini tiba-tiba saja berkhianat, membiarkanku bertindak tanpa persiapan, apalagi rencana cadangan.

Hanya ada Jena.

Menculiknya sama sekali di luar ekspektasiku. Terlepas dari bagaimana gadis itu terang-terangan membelaku sore tadi, ia tetaplah Jenaka—putri semata wayang dari Wali Kota Sidikara. Mengapa mereka berani mengambil tindakan senekat ini?

Jika gadis itu sampai terluka, jika para begundal itu berani menggores kulitnya walau hanya beberapa senti saja, aku bersumpah akan memporak-porandakan tempat itu walau harus mati setelahnya.

"Ingat, karena tujuan kita beda, caranya pun harus beda. Kalau kita sama aja dengan mereka, semua jadi percuma." Kalimat yang pernah dilontarkan Taka terngiang-ngiang di dalam kepalaku. Hatiku terasa ngilu saat teringat bahwa kini bahkan ia tidak ada lagi untuk menghalangiku menghancurkan mereka.

Dan, untuk menghancurkan diriku sendiri.

Cobra berbelok di tikungan terakhir. Beberapa puluh meter di depan, garasi Blacktula terlihat—dihalangi oleh puluhan orang. Si Gondrong berdiri tengah mereka semua dengan sebuah parang di tangan, terlihat seperti baru saja bangkit dari neraka dengan wajah yang hampir tak kukenali lagi karena nyaris seluruh bagiannya tertutupi perban.

Di balik helm, aku berdecak. Meski seluruh tubuhnya telah babak belur, bajingan itu tidak akan melewatkan kesempatan untuk menghabisiku ini, bukan?

Yang tidak mereka tahu, aku tidak menyalahkan mereka. Tidak sepenuhnya. Orang yang harus membayar kekacauan ini adalah diriku sendiri. Seharusnya, aku tahu siasat kematian palsuku akan sampai dengan cepat ke telinga Blacktula. Dan setelahnya, mereka tidak mungkin tinggal diam.

Seharusnya, sore tadi aku tidak melepaskan Jena.

"Blacktulaaa?" seru si Gondrong saat jarak di antara kami semakin berkurang.

"Berbisa!" teriak sisanya.

Saat mendengarnya, aku tersadar bahwa Felix, sang ketua yang seharusnya menyerukan yel-yel itu, tidak ada di antara mereka. Dan bahwa jumlah mereka malam ini tak sampai setengah dari saat perang minggu lalu. Itu hanya berarti satu hal—penculikan malam ini tidak terjadi di bawah bendera resmi Blacktula.

Setelahnya, barisan terdepan mulai berlari maju. Semua serempak menuju satu tujuan—aku.

Tanpa mematikan mesin, aku naik ke leher motor. Kemudian, melompat ke samping dengan sekali hentakan. Sementara Cobra terus meluncur hingga akhirnya jatuh berderit dan menabrak kaki beberapa dari pasukan Blacktula.

Tanpa membalikan badan, aku meraih tongkat kayu sepanjang setengah meter yang tanpa sengaja kutemukan di pojok area parkir rumah sakit—satu-satunya senjata untuk melawan puluhan orang itu. Aku bangkit dan mulai berlari sambil menghalau beberapa batu yang mulai menimpa tubuhku.

"Kali ini, maneh harus bener-bener mampus!"

Bersamaan dengan seruannya itu, si Gondrong melayangkan tinju pertama, disusul oleh banyak yang lainnya. Seseorang menebaskan celurit tajamnya pada lenganku yang sibuk menangkis serangan mereka. Bahkan darah yang menetes dari luka sobekan akibat tebasan celurit itu tidak menghalangi tekadku.

Aku menghajar satu, dua, tiga orang. Demi satu, dua, tiga langkah lebih dekat ke arah Jena.

Laba-laba yang berhasil kulewati berbalik menyerang dari arah samping dan belakang, membuatku terkepung lautan manusia. Meski begitu, aku maju sambil memukul membabi buta. Tongkatku jatuh tak lama kemudian. Jahitan pada buku-buku jariku telah kembali terbuka, nyeri pada punggung dan lengan tak bisa lagi tak dihiraukan. Aku begitu ingin berhenti bergerak dan membiarkan mereka mengoyak tubuh ini hingga tak perlu lagi berdiri.

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang