Saat alarm di ponsel berbunyi keesokan paginya, aku terbangun sambil masih memikirkan Jena. Ini selalu terjadi di setiap pagi setelah aku menghabiskan waktu dengan gadis itu semalam sebelumnya. Mungkin hampir seperti inilah rasanya mengalami pengar. Aku tidak pernah menyentuh minuman beralkohol satu kali pun—kecanduan Darwan membuatku tak sudi mencoba. Namun, aku menebak, sensasi merasakan sisa-sisa dari apa yang dilakukan semalam itu kurang lebih menyerupai apa yang kurasakan sekarang.
Biarpun begitu, aku berani bertaruh pengar akan Jenaka terasa ratusan kali lipat lebih baik.
Aku bisa saja menghabiskan satu jam lagi untuk berbaring dan mengenang satu jam yang kuhabiskan dengan gadis itu di ruang medis Kapow semalam. Namun, waktu memaksaku bangkit dan mulai bersiap-siap pergi. Hari ini adalah Sabtu yang dijadwalkan Taka untuk acara touring para anggota Kawani. Tujuan kami adalah Pangalengan, sebuah desa kecil di Kabupaten Bandung, dengan jarak sekitar empat jam dari Sidikara. Itu pun jika kami berangkat cukup pagi agar terhindar dari kemacetan akhir pekan.
Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku menumpahkan sejumlah sereal jagung ke mangkuk lalu menyiramnya dengan susu dingin. Sarapan kilat itu kusantap sambil membuka laman browser di ponsel dan mencari kasino lain dengan letak sejauh mungkin dari Phantom Penthouse. Sudah cukup lama aku tidak melatih otak dengan bermain poker. Bermain poker sungguhan, maksudku. Karena permainan kartu penuh banyolan dengan harga taruhan lima sampai seratus ribu yang biasa kami mainkan di markas Kawani tentu tidak masuk hitungan.
Poker—yang bagiku adalah pekerjaan—mungkin dapat mengalihkan otakku dari terus memikirkan Jena. Rasanya memang menyenangkan, tetapi aku terbiasa menghindari hal apa pun oleh sesuatu yang berkemungkinan menjadi candu. Dan gadis itu jelas merupakan salah satunya.
Setelah menghabiskan sarapan dan menyimpan alamat beberapa kasino di notes, aku mengenakan jaket harrington putih dengan bordir kepala serigala lalu bersiap pergi. Jaket Kawani itu wajib dipakai pada agenda-agenda khusus, seperti touring kali ini.
Ojek online yang kupesan tiba dan aku segera menaikinya untuk terlebih dulu menuju gedung Kapow, mengambil Cobra. Tak sampai tiga puluh menit kemudian, Cobra telah tiba di markas para serigala. Beberapa motor telah terparkir di depan bangunan rumah lama itu, di antaranya kukenali sebagai motor Taka dan Deki.
Di dalam, Taka, Deki, Rian, dan yang lainnya tengah bersiap-siap dengan jaket dan helm. Seorang wanita muda berkerudung ada di antara mereka, memakai jaket serigala yang sama dengan kami semua. Ini adalah pertama kali aku melihatnya di markas, meski kami sudah pernah bertemu sebelumnya.
"Hei, Mas!" sapa wanita yang pernah kubantu dari pencuri dompet itu sambil tersenyum ramah. "Akhirnya ketemu lagi."
"Eh, halo, Mbak." Aku menyalaminya.
"Teteh aja, jangan Mbak," ralatnya. "Teh Astri. Arai, kan ya? Taka banyak cerita tentang kamu."
Aku hanya mengangguk sambil menyerengeh, bingung harus merespons apa.
Taka merangkul sang istri. "Kalau Sabtu gini, Kale suka dititip ke neneknya, Rai." Ia menjelaskan, menyebut nama anaknya yang masih berusia balita. "Saya seneng ngajak istri gabung-gabung acara Kawani. Apalagi, touring gini. Enak kalau momotoran sambil dikeukeupan¹!"
Aku menyadari bahwa ada tiga orang wanita lainnya di dalam markas, lebih muda dari Teh Astri. Sepertinya mereka adalah pasangan dari anggota lain juga.
"Si Dante juga mau bawa ceweknya, ceunah," sambung Deki. "Mana dia, ya, kok belum dateng?"
"Ngejemput heula meureun², jauh," jawab Gege.
"Eh, kabogoh³ si Dante teh bukannya orang luar kota? LDR-an kan mereka?" tanya Rian.
"Lagi main ke Sidikara katanya, kan weekend, libur sekolah," jelas Deki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Teen FictionJUDUL PERTAMA DALAM SERI JENAKA Jenaka (completed) ------------------------------------------------------------ "Makasih ya, Jena." "Makasih apa? Kan, kamu yang bayar," timpal Jena dengan wajah jahil. "Makasih aja. Buat ide..." Aku berhenti sejena...