Satu Jam Saja

245 43 15
                                    

Hal pertama yang kusadari saat berbaring menindih Jena adalah betapa hangat dirinya terasa dan aku tak keberatan sama sekali dengan keadaan ini. Namun, kemudian aku menyadari Jena tengah memejamkan matanya keras-keras. Aku pun tersadar bahwa ia mungkin tengah merasa tidak nyaman, atau bahkan kesakitan. Aku segera beringsut dari tubuhnya dan bangkit seraya mengulurkan tangan untuk membantunya duduk.

"Maaf, saya—"

"Jenaka!" Kalimatku terpotong oleh seruan Kang Ahmer yang tengah berlari mendekati kami.

Rupanya, beberapa peserta lain telah mulai mengerumuni kami. Kecelakaan kecil seperti ini sebetulnya lumrah terjadi dalam kelas bela diri. Namun, dengan Jenaka sang bintang yang mengalami, tentu saja semuanya akan bereaksi berlebihan.

Gadis itu sendiri belum bergerak dan masih memejamkan matanya. Aku mulai merasa khawatir. Kucondongkan tubuh ke arahnya sambil menyentuh dahi yang dihiasi anak rambut berpeluh itu. "Hei?"

Tiba-tiba saja, mulut Jena terbuka dan ia mulai tertawa. Tawanya begitu renyah dan tak kunjung berhenti. Sambil terpingkal-pingkal, ia membuka mata dan menatap langsung ke mataku yang masih duduk membungkuk di atasnya. "Ada ada aja sih kita!"

Mau tak mau aku ikut tertawa karena setelah dipikir-pikir, yang baru saja terjadi memang menggelikan. Jena menerima uluran tanganku dan bangkit terduduk. Ia menoleh pada Kang Ahmer yang masih menunjukan raut wajah panik. "Gak apa-apa kok, Kang. Cuma jatuh biasa."

Kang Ahmer terlihat lega. "Gak ada yang sakit? Tapi, kamu harus tetap ke ruang medis dulu, ya. Ayo."

Lelaki itu membantu Jena berdiri. Namun, Jena terlihat kesulitan. Ia meringis dan kembali duduk sambil memegangi sebelah kakinya. "Aduh, lumayan sakit ternyata."

"Mungkin kakimu terkilir." Kang Ahmer kembali terlihat khawatir. "Sebentar, biar saya suruh orang medisnya aja yang ke sini."

"Eh, gak usah, Kang." Jena cepat menggeleng. "Saya bisa kok, ke sana." Saat mengucapkannya, ia melirik ke arahku. Sekilas saja, tetapi berhasil membuatku menyadari apa yang dimaksudnya.

Aku segera berdiri dan meraih kedua tangan Jena untuk pelan-pelan membantunya bangkit. Setelah berhasil berdiri, gadis itu menatapku dengan tatapan bertanya. Aku mengangguk untuk menjawab keraguannya. Kemudian, ia segera melingkarkan sebelah lengannya ke bahuku.

"Makasih, ya." Ia berbisik ke telingaku saat melakukannya.

Gemetar yang diakibatkan lengannya yang bertumpu pada pundakku saja belum pulih, masih harus ditambah pula dengan bisikan lirih itu. Jika harus membuka mulut sekarang, pasti aku akan tergagap. Maka, aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.

Sekuat tenaga kutahan suara ini agar tidak bergetar dan tetap terdengar tenang saat berpaling pada Kang Ahmer. "Biar saya yang antar Jenaka ke medis, Kang."

"Oh." Kang Ahmer terlihat sedikit keheranan, tetapi, ia cepat menguasai diri. "Ya, silakan."

Aku lalu memapah Jenaka menuju ruang medis di pojok gedung Kapow. "Permisi, permisi," ucapku pada peserta lain yang membentuk kerumunan di sekitar kami, sambil mengabaikan pandangan takjub dan suara berbisik-bisik mereka.

Seperti sebelumya, semua itu seharusnya membuatku risih. Namun, Jenaka tengah merangkul dan menempel pada tubuhku dengan jarak setipis kertas. Tak ada hal apa pun yang dapat memecah perhatianku sekarang.

***

Jam telah menunjukan hampir pukul sembilan malam, satu jam lebih larut dari jam usai latihan biasanya. Biarpun begitu, masih terdengar suara para peserta Aikido yang tengah melakukan latihan khusus di arena. Sementara, ruang medis Kapow yang sepi terasa dingin dalam udara malam Kota Sidikara.

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang