Serigala Berkaki Besi

335 42 29
                                    

"Lanjut, Bang?" tanyaku pada pria gempal yang menjadi lawan bermain selama beberapa putaran terakhir. Aku tengah merapikan tambahan chips terbaru hasil dari mengalahkannya tadi.

Waktu telah menunjukan lewat dari pukul tiga dini hari. Tidak biasanya aku terus bermain hingga selarut ini. Namun, euforia menguasai tempat baru ternyata membuatku lupa waktu. Lingkaran pengunjung yang menonton permainanku kini telah berubah menjadi kerumunan.

Si Gempal menggeleng. Kemudian, sebelum berlalu, ia menunduk dan berkata pelan, "Semoga aman sampai pulang."

Aku tidak sepenuhnya mengerti maksud dari kalimatnya itu, tetapi hanya menjawab, "Makasih, Bang."

Kuputuskan akan pulang setelah satu permainan lagi. Saat mendongak untuk melihat siapa penantang selanjutnya, aku dihadapkan pada sosok yang sama sekali berbeda dengan semua lawan lainnya tadi.

Lelaki itu berpakaian rapi, kemeja putih lengan panjang. Jas hitam yang telah dilepas dan tersampir di salah satu bahu tidak mengurangi kesan rapi padanya. Rambut yang disisir ke arah belakang dan sepertinya dijaga untuk tetap seperti itu dengan pomade. Ia duduk tepat di hadapanku, lalu memasukan lima puluh chips ke dalam pot di tengah meja, sebagai taruhan awal.

"Kita lihat kemampuan lu, anak baru."

Aku mengangkat bahu, lalu memasukan sejumlah chips yang sama ke dalam pot. Bandar mulai membagikan kartu.

Hampir satu jam telah berlalu. Permainan dengan si Rapi berlangsung seimbang. Aku kalah satu kali, dan dia dua. Kini, kami tengah dalam permainan keempat. Bila Rapi menang kali ini, kami berakhir seri. Apa pun hasilnya, aku memutuskan akan pulang setelahnya. Petualangan malam ini rasanya sudah cukup panjang.

Bandar membagikan kartu untuk putaran keempat. Aku membuka milikku. Tujuh dan sepuluh hati. Sekuat tenaga kutahan senyum dari bibir ini. Dua kartu ini, bila dimainkan dengan baik, dapat menuntunku pada straight flush¹, salah satu hand terbaik dalam Hold'em poker.

Aku melirik si Rapi. Ia menatap lurus ke arahku. Ekspresinya sukar dibaca. Saat tidak ada satu pun di antara kami yang mengajukan raise, Bandar membuka the flop².

Sembilan hati, empat tempe, dan jack hati.

Dua kartu di pihakku. Ini sangat bagus. Ada kalanya, keberuntungan berperan lebih besar dari biasa. Ini adalah bukaan pertama terbaik sepanjang permainan malam ini. Aku ingin mengajukan raise beberapa puluh chips atau bahkan seratus. Namun, di sisi lain juga enggan bertindak terburu-buru dan membiarkan si Rapi membaca niatku.

Si Rapi mengejutkan dengan membuka suara terlebih dahulu. "Raise lima puluh."

Sialan. Apa kartunya sebaik milikku? Aku meragukan ia memiliki kombinasi yang lebih baik. Satu-satunya hand yang tingkatnya di atas straight flush hanya royal flush³. Dan untuk mendapatkannya, membutuhkan keberuntungan selevel dewa. Aku meragukannya. Kemungkinan besar, ia hanya tengah mengejar straight⁴.

"Call," putusku akhirnya.

Kami memasukan chips tambahan tersebut ke dalam pot secara bersamaan. Bandar membuka the turn.

Delapan keriting.

Si Rapi tetap pada ekspresi datarnya yang sama. Di antara seluruh pemain yang sempat menjadi lawanku malam ini, lelaki ini adalah yang paling sulit dibaca. Namun, aku bersumpah melihat ujung bibirnya terangkat. Sedikit sekali. Nyaris seperti gerakan tanpa arti. Biarpun begitu, jika gerakan itu merupakan senyum tertahan, itu artinya ia memang tengah mengejar hand straight.

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang