Bonus Chapter: One Fine Day

158 35 3
                                    

RX-King klasik besar berwarna hitam itu terasa sangat berat saat harus kutuntun sambil berjalan seperti ini. Biarpun begitu, aku tetap mendorongnya dengan langkah-langkah tegap, enggan menunjukan keberatan sedikit pun. Apalagi, luka yang ada di lututku.

Mungkin, bila aku terlihat kuat, Ayah akan tetap memberikan motor yang luar biasa keren ini padaku. Biar bagaimanapun, kecelakaan kecil tadi bukan sepenuhnya salahku bukan? Siapa pula yang akan tahu bahwa seekor anjing liar akan tiba-tiba muncul dari semak-semak dan berlari ke tengah lapang? Masih untung aku berhasil menghindar agar tidak menggelengnya, dan malah menabrak tunggul pohon besar.

"Capek gak, Rai?" tanya Ayah yang berjalan di sebelahku.

Aku cepat-cepat menggeleng.

"Ayah dulu waktu belajar naik motor, jatuh juga gak?" tanyaku, membuka pembicaraan agar teralihkan dari lecet di lutut yang diam-diam berdenyut perih.

"Enggak," jawabnya santai.

Aku cepat menoleh.

"Cuma nabrak tiang listrik," lanjutnya sambil tertawa.

"Yeeeh! Jatuh juga dong, berarti."

"Beneran, gak sampai jatuh." Ayah menyanggah. "Ayah bisa nahan, dulu latihan pake motornya Eyang. Kan ringan, motor bebek."

Aku kembali diterpa rasa bersalah. Akulah yang bersikeras ingin berlatih memakai motor klasik milik Ayah saat muda dulu ini. Padahal, ia telah menyarankan agar aku melancarkan gerak tangan dan kakiku terlebih dulu dengan motor matic Ibu.

"Kira-kira, dia bakal bisa dibenerin gak ya, Yah?" tanyaku pelan. Ayah selalu merawat si motor dengan telaten walaupun tak lagi dikendarai setiap hari. Seperti ia bukan benda mati biasa, ia berarti.

Bagian depan motor yang penyok hingga nyaris hancur membuat hatiku ngilu saat pertama kali bangun setelah terjatuh tadi. Bagaimana jika si keren ini tidak akan bisa melesat menyaingi angin lagi? Aku bahkan tidak menghiraukan lecet pada lututku yang sekarang tertutupi tepi celana pendek katun, karena terlalu takut Ayah akan membatalkan janji memberikannya padaku kalau sampai ia tahu.

"Bisa, lah. Si Agus kan jagoan." Ayah mencoba menenangkanku dengan memuji teknisi di bengkel yang tengah kami tuju. "Tapi paling agak lama. Besok kamu latihan pakai motor Ibu dulu aja, biar cepet lancar."

Aku mengangguk cepat dengan girang, merasa senang karena Ayah ternyata masih berniat menemaniku berlatih motor setelah insiden dengan anjing liar dan tunggul pohon tadi.

Tiba-tiba Ayah berbelok ke kiri, bukan arah menuju bengkel si Agus.

"Yah, kok belok?" Aku cepat-cepat mengikuti.

Ayah malah memasuki warung kelontong yang terletak di dekat belokan itu. "Tunggu sebentar."

Aku pun berdiri dengan si keren, menunggu Ayah yang mungkin hanya perlu membeli sebungkus rokok baru.

Ayah muncul beberapa menit kemudian dengan sebuah kantung keresek hitam. "Standarin dulu motornya, Rai," perintahnya. "Duduk di situ," Ia menunjuk sebuah bangku kayu di depan warung.

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, tetapi tetap menurutinya. Karena mengira Ayah akan duduk di sampingku untuk beristirahat sejenak, aku terkejut ketika ia justru berlutut dan menyingkap tepi celana katunku ke atas, membuat lecet merah yang kukira tidak ia ketahui kini jelas terlihat.

Ayah mengeluarkan sebotol air mineral dari kantung keresek, lalu menyiram luka yang masih kotor oleh sedikit tanah itu.

"Ayah tahu?" tanyaku pelan, saat ia sibuk menyeka air dari lukaku dengan tisu.

Ayah terkekeh sebelum menjawab. "Ya tahu lah, caaak cak." Ia mengeluarkan sebotol cairan antiseptik berwarna kuning, lalu mendongak untuk menatapku. "Tahan, ya?"

Aku mengangguk, lalu meringis saat cairan itu membuat lukaku terasa semakin perih. Perih itu sedikit berkurang saat Ayah meniupi lututku pelan-pelan.

Setelah selesai, Ayah berdiri lalu duduk di sampingku. "Kita tunggu dulu sampai obatnya kering ya, baru jalan lagi."

"Oke," jawabku.

Ayah lalu menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya dalam-dalam. "Gimana kalau kita kasih nama aja?"

"Siapa?"

"Si RX-King. Kamu kan, selalu nyebut motor itu dengan sebutan 'dia'. Kayak ke orang." Ayah tertawa kecil. "Sekalian aja dikasih nama."

Aku berpikir sejenak. Sebuah motor yang diberi nama. Itu bukan hal yang lumrah. Tetapi, sepertinya keren juga. "Apa namanya, Yah?"

"Ya terserah kamu, dong. Apa kira-kira?"

Dengan sedikit takut-takut, aku menengok dan mendongak ke arahnya. "Emangnya... dia jadi buat Arai, Yah?"

Melihatku gugup seperti itu, Ayah malah terbahak-bahak lalu mengacak rambutku yang basah oleh keringat. "Kalau bukan buat kamu, memang mau buat siapa lagi, Cak? Arla?" Ia mendengus.

Aku pun ikut tertawa. Gagasan tentang adik perempuanku yang mungil dan baru berumur sembilan tahun itu mengendarai RX-King hitam besar terasa sangat menggelikan. Hatiku kini terasa tenang. Ternyata, Ayah tetap memegang janji walau aku telah jatuh dan merusak motor kesayangannya.

"Hmm, Ayah punya ide. Tapi, terserah kamu namanya mau dipakai atau enggak. Kan, dia bakal jadi punya kamu. Gimana?"

"Setuju." Aku mengangguk. "Apa?"

"Cobra."

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***

Hai, readers!

I hope you enjoy the bonus chapter 🥰

XOXO,
Author

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang