Hak Istimewa Ketua

256 36 14
                                    

Selama sekitar setengah jam, kami menghabiskan makanan masing-masing sambil bercakap-cakap ringan mengenai sekolah dan hal-hal lainnya. Bahkan bagiku sekalipun, tidak terlalu sulit mengimbangi percakapan dengan Jenaka. Ternyata, dalam situasi yang normal, gadis itu cukup menyenangkan dan mampu menyetir topik pembicaraan dengan baik.

Setelah kedua pasang mangkuk dan gelas di hadapan kami sama-sama kosong, Jenaka memanggil seorang pelayan dan mengeluarkan dompet untuk membayar tagihan kami. Tentu saja aku menolak dan segera beringsut untuk mengeluarkan dompet juga. Namun, gadis itu sungguh bersikeras.

"Plis, hati aku gak tenang kalau harus kamu yang bayar. Uang seratus ribu untuk bayar bus yang waktu itu aja belum aku ganti, malah kamu udah beliin lagi aku sendal jepit. Seenggaknya, biarin aku bayar ramen ini, ya?"

Aku merasa tidak nyaman, tetapi tidak ingin membuat adegan klise di depan pelayan restoran. Lagipula, aku juga enggan terkesan terlalu peduli jika turut bersikukuh. Maka, aku mengangguk dan membiarkannya membayar.

"Makasih, ya," ucapnya saat kami tengah berjalan keluar dari area dalam warung ramen.

"Makasih apa lagi?" jawabku geli. "Kan, kamu yang bayar."

Ia terkekeh sambil menghentikan langkah dan membalikkan badannya. Kami telah sampai di depan area parkir warung ramen. Jenaka menghadap ke arahku, lalu menjawab, "Pokoknya makasih aja, deh. Aku seneng."

Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Namun, dirinya yang masih menatapku sambil tersenyum setelah mengucapkan terima kasih terlalu manis untuk diabaikan.

Tanpa berpikir sebelumnya, mulut ini tiba-tiba saja mengejutkanku dengan menjawab, "Saya juga, kok."

Senyumnya semakin lebar, menampakan deretan gigi putih yang ternyata memiliki satu gingsul kecil di sebelah kiri. Aku balas tersenyum. Kemudian, adegan saling menatap yang tak pernah kukira akan pernah kulakukan itu terpotong oleh dering ponselnya.

"Ah," cetusnya setelah melihat layar. "Aku udah dijemput." Ia menunjuk sebuah sedan hitam yang berhenti di samping warung ramen.

"Oh."

Aku tidak menduga hal itu. Tidak ada kesepakatan bahwa aku akan mengantarnya pulang malam ini. Bahkan aku tidak mengira atau pun mengharapkannya, hanya tidak memikirkannya sama sekali. Bersama Jenaka, segalanya terasa begitu mengalir hingga waktu perpisahan terasa mengejutkan.

"Itu om aku, adiknya Papah." Ia menjelaskan meski aku hanya memperhatikan mobil itu tanpa bertanya apa pun. "Aku duluan, ya?"

Walau—untuk alasan yang diriku sendiri pun tidak mengerti—enggan melihatnya berlalu, aku tidak memiliki alasan apa pun untuk mengkhawatirkannya lagi. Jenaka baik-baik saja sekarang, dengan alas kaki yang bersih. Dan tidak ada orang aneh yang tengah mengejar-ngejarnya.

Maka, aku mengangguk. "Hati-hati di jalan."

"Akan aku usahakan untuk gak nginjek kotoran lagi," balasnya dengan tawa jahil.

Tawaku pecah tanpa sempat ditahan. Untuk pertama kalinya, aku membiarkan pengendalian diriku melonggar. Sesuatu yang hangat berhasil menyusup ke dalam hatiku yang dingin. Dan aku terkejut saat mendapati bahwa rasanya ternyata cukup menyenangkan.

Jenaka ikut tertawa. Aku menyadari ia tidak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari wajahku. Ia lalu melambaikan tangan sambil berlari kecil menjauh. "Sampai ketemu lagi, Arai!"

Aku mengangkat tangan untuk balas melambai. Beberapa detik kemudian, sedan hitam itu telah melaju, meninggalkanku yang berusaha keras menahan bibir agar tidak terus tersenyum konyol.

***

Keesokan paginya, aku terbangun dengan perasaan tak menentu. Ternyata, waktu yang kuhabiskan dengan Jenaka di warung ramen kemarin malam mempengaruhiku lebih dalam dari yang kukira. Sepeninggalan gadis itu, apa yang terus terngiang-ngiang di telingaku adalah pengakuannya tentang betapa ia membenci semua anggota geng motor. Itu, digabungkan dengan tawa renyahnya dan bagaimana ia tidak berhenti menatap mataku berhasil membuat pikiran ini berlarian ke sana ke mari dalam perjalanan pulang.

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang