Terpukau Tarian Berputar

254 39 11
                                    

"In three hundred meters, turn right.¹"

Langit yang hampir sepenuhnya gelap menjadi atapku yang membawa Cobra dengan kecepatan rendah menuju tempat kursus bela diri rekomendasi Taka. Di dalam helm, perangkat headset menempel ke telinga. Sesuai instruksi robot penyuara Google Maps tadi, aku mulai mengambil jalur kanan untuk bersiap berbelok di tikungan depan.

Saat itulah mataku menangkap sosok yang tengah membungkuk sambil melepaskan kedua sepatu yang dikenakannya. Lalu, ia berjongkok seraya melakukan sesuatu pada sepatunya itu—yang terhalang oleh beberapa sepeda motor dari arah pandangku. Pemandangan itu cukup membuat penasaran. Sehingga aku terus memandangi selagi belum bisa membelokkan Cobra karena padatnya jalan raya di jam pulang kerja.

Sosok itu akhirnya berdiri. Dengan ekspresi menahan tangis yang akan membuat siapa pun yang melihat merasa iba. Namun, bukan itu yang membuat jantungku berhenti berdetak.

Melainkan, paras berpeluh yang ada di antara geraian rambut panjang itu. Jenaka.

Kali ini, tidak seperti pada saat pertama kali melihatnya di toko buku, aku tidak bisa mengalihkan pandangan. Beberapa hari yang kulalui dengan menyimpan rasa ingin tahu, memuncak pada waktu ini di tengah jalan raya—aku tidak mampu berpura-pura tidak peduli. Terlebih, gadis itu sepertinya—lagi-lagi—tengah berada dalam kesulitan.

Maka, aku batal membelokkan motor ke tujuan awal meski kini di depan Cobra mulai tersisa ruang kosong. Aku meliuk-liuk melawan arah ke sebelah kiri, tempat gadis itu berdiri. Segera saja pekik suara klakson dibarengi protes pengendara lain terdengar. Aku menulikan telinga.

Jenaka masih berdiri di sana sambil menengok ke kanan dan kiri dengan raut wajah gusar. Ia bertelanjang kaki, sebelah tangannya mengepal beberapa lembar tisu dan tangan yang lain menggamit sepasang sepatu putih bertali yang dilepaskannya tadi.

Setelah perjuangan panjang menerobos antrian motor dan mobil, aku akhirnya sampai tepat di hadapan gadis itu. Ia terlihat terkejut, lalu memasang mimik waspada dan mundur beberapa langkah.

Aku membuka helm, lalu menatapnya sambil bertanya, "Kenapa sepatunya?"

Selama beberapa detik, Jenaka benar-benar tampak konyol. Dengan mulut terbuka beberapa senti dan mata membulat, ia memandangku sambil menunjuk menggunakan tangan yang menggenggam tisu kotor.

"Kamu...?"

Aku mengangguk, tahu ia telah mengenali wajahku.

Kemudian, Jenaka sepertinya menyadari bahwa aku masih menunggu jawaban "Ah, ini... aduh. Konyol banget, sebenernya. Barusan aku gak sengaja nginjek kotoran kucing." Ia memperlihatkan bagian alas sepatunya yang memang tampak kotor. "Aku udah berusaha bersihin pakai tisu sebisanya, tapi, yah... tetep bau banget."

Aku tercengang. Setelah pertemuan pertama kami yang dramatis, lalu berbagai informasi tentang gadis ini—bagaimana ia diperlakukan seperti selebriti yang selalu diikuti paparazzi—aku sungguh menyangka masalah yang tengah dihadapinya adalah sesuatu yang serius. Tetapi ini... kotoran kucing? Yang benar saja.

"Gak bisa dipakai? Emang, masuk sampai ke bagian dalem?" tanyaku lagi.

"Gak tahu sih, takutnya nanti tembus."

Oke. Ini menjijikan. Aku tak ingin bertanya lebih lanjut. Aku melirik kakinya yang telanjang dan tengah saling digosok-gosokan satu sama lain, lalu mendesah karena tahu diri ini tak akan tega membiarkannya berjalan di malam hari dengan keadaan seperti itu.

Mengapa ia selalu terlibat masalah? Tidak. Pertanyaan yang lebih penting adalah, mengapa aku selalu terseret dalam masalahnya?

"Ayo, naik. Biar saya antar," putusku akhirnya. Sambil kembali mengenakan helm, lalu membuka kaca di depannya.

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang